Reinhold Messner | |
---|---|
Reinhold Messner pad Mei 2004 | |
Lahir | 17 September 1944 Brixen (Bressanone), Italia |
Pekerjaan | Pendaki Gunung |
Situs web | |
www.reinhold-messner.de |
|
Biografi
Lahir di Brixen (Bressanone), Tirol Selatan (Italia) dan penutur asli bahasa Jerman, Messner memulai karier memanjat di Pegunungan Alpen. Pendakian utamanya di Himalaya pada tahun 1970, Nanga Parbat, berubah menjadi keberhasilan tragis. IA dan saudaranya Günther Messner mencapai puncak, namun Günther meninggal 2 hari kemudian saat turun. Reinhold kehilangan 7 jari kakinya akibat udara dingin selama pendakian.Pada tahun 1980, Messner adalah orang pertama yang mendaki Gunung Everest sendirian tanpa oksigen pendukung. (Messner telah melakukan hal ini lebih awal sebagai bagian tim 2 orang dengan Peter Habeler pada tahun 1978). Ia juga orang pertama yang memanjati keempat belas "eight-thousander" (puncak-puncak setinggi lebih dari 8.000 m dpl, kadang-kadang disebut sebagai "Mahkota Himalaya"), memenangkan duel dengan Jerzy Kukuczka. Ia juga mengadakan pendakian solo ke Nanga Parbat yang sulit secara teknis. Messner telah melintasi Antarctica naik ski dengan Arved Fuchs. Ia telah menulis sejumlah buku tentang pengalamannya, banyak yang diterjemahkan ke bahasa lain.
Pendakian solonya ke Everest, ketika tiada pendaki lain di pegunungan, dianggap sebagai prestasi tunggal yang tiada duanya karena pegunungan ini sekarang sering didaki dalam berbagai kelompok, dan sering terganggu dengan pendaki lain yang juga naik serentak.
Messner sekarang menjalankan bisnis aneka rupa terkait dengan kecakapan panjat gunungnya. Antara tahun 1999-2004, ia memegang jabatan politis sebagai Anggota Parlemen Eropa untuk Partai Hijau Italia (Federazione dei Verdi).
Pada tahun 2004 ia berjalan 2000 kilometer melintasi Gurun Gobi.
Empat belas puncak
- 1970: Nanga Parbat (8.125 m)
- 1972: Manaslu (8.156 m)
- 1975: Gasherbrum I (8.068 m)
- 1977: Dhaulagiri (8167 m)
- 1978: Gunung Everest (8846 m), Nanga Parbat (8.125 m)
- 1979: Qogir (8611 m)
- 1980: Gunung Everest (8.846 m)
- 1981: Shisha Pangma (8.012 m)
- 1982: Kanchenjunga (8.598 m), Gasherbrum II (8.035 m), Broad Peak (8.048 m), Cho Oyu (8.201 m - gagal)
- 1983: Cho Oyu (8.201 m)
- 1984: Gasherbrum I (8.068 m) dan Gasherbrum II (8.035 m) tanpa kembali ke base camp
- 1985: Annapurna (8.091 m), Dhaulagiri (8.167 m)
- 1986: Makalu (8.485 m), Lhotse (8.516 m)
Home » Misteri Dunia » Mengintip Legenda Ikan Dewa di Kaki Gunung Ciremai Mengintip Legenda Ikan Dewa di Kaki Gunung Ciremai Posted by ADMIN on 11.7.11 Ikadanews - Kolam Keramat Cigugur terletak sekitar tiga kilometer dari ibukota Kabupaten Kuningan. Secara geografis, ”balong” itu masuk wilayah Kelurahan Cigugur. Menurut cerita yang berkembang dan dipercaya oleh masyarakat setempat, sebelum lahir nama Cigugur, tempat itu acap disebut dengan nama Padara. Istilah ini diambil dari nama seorang tokoh masyarakat, yaitu Ki Gede Padara, yang memiliki pengaruh besar di desa itu. Konon Ki Gede Padara lahir sebelum Kerajaan Cirebon berdiri. Menurut perkiraan, tokoh yang menjadi cikal bakal masyarakat Cigugur ini lahir pada abad ke-12 atau ke-13. Pada masa itu, beberapa tokoh yang sezaman dengannya sudah mulai bermunculan, di antaranya Pangeran Pucuk Umun dari Kerajaan Talaga, Pangeran Galuh Cakraningrat dari Kerajaan Galuh, dan Aria Kamuning yang memimpin Kerajaan Kuningan. Berdasarkan garis keturunan, keempat tokoh tersebut masih memiliki hubungan persaudaraan. Namun dalam hal pemerintahan, kepercayaan, dan ajaran yang dianutnya, mereka memiliki perbedaan. Pangeran Pucuk Umun, Pangeran Galuh Cakraningrat, dan Aria Kamuning menganut paham aliran ajaran agama Hindu. Sedangkan Ki Gede Padara tidak menganut salah satu ajaran agama. Pada abad ke-14 di Cirebon lahir sebuah perguruan yang beraliran dan mengembangkan ajaran agama Islam. Tokoh yang mendirikan perguruan tersebut ialah Syech Nurdjati. Selain Syech Nurdjati, Sunan Gunungjati pun memiliki peran yang besar dalam pengembangan perguruan Islam di tanah Caruban itu. Sebagai kuwu pertama di Dusun Cigugur diangkatlah Ki Gede Alang-Alang. Hingga wafatnya, beliau dimakamkan di Kompleks Masjid Agung. Di usia tuanyan, Ki Gede Padara punya keinginan untuk segera meninggalkan kehidupan fana. Namun, ia sendiri sangat berharap proses kematiannya seperti layaknya manusia pada umumnya. Berita tersebut terdengar oleh Aria Kamuning, yang kemudian menghadap kepada Syech Syarif Hidayatullah. Atas laporan itu, Syech Syarif Hidayatullah pun langsung melakukan pertemuan dengan Padara. Syech Syarif Hidayatullah merasa kagum dengan ilmu kadigjayan yang dimiliki oleh Ki Gede Padara. Dalam pertemuan itu Padara pun kembali mengutarakan keinginannya agar proses kematiannya seperti layaknya manusia biasa. Syech Syarif Hidayatullah meminta agar Ki Gede Padara untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagai syaratnya. Syarat yang langsung dipenuhi Ki Gede Padara. Namun, baru satu kalimat yang terucap, Ki Gede Padara sudah sirna. Setelah Ki Gede Padara menghilang, Syech Sarif Hidayatullah bermaksud mengambil air wudhlu. Namun, di sekitar lokasi tersebut sulit ditemukan sepercik air pun. Dengan meminta bantuan Allah SWT, dia pun menghadirkan guntur dan halilintar disertai hujan yang langsung membasahi bumi. Dari peristiwa inilah kemudian sebuah kolam tercipta. Namun, masyarakat setempat tidak tahu menahu kapan persisnya kolam tersebut dibangun. Satu hal pasti, kolam tersebut dianggap keramat. Apalagi setelah kolam ”ditanami” ikan kancra bodas. Pengeramatan tersebut juga dilakukan oleh masyarakat terhadap ikan sejenis yang hidup di kolam Darmaloka, Cibulan, Linggarjati, dan Pasawahan. Maksud pengkeramatan terhadap ikan langka tersebut tidak lain bertujuan untuk menjaga dan melestarikannya dari kepunahan akibat ulah manusia. Ada hal aneh yang sampai kini masih terjadi atas ikan-ikan itu: Jumlahnya dari tahun ke tahun tak pernah bertambah atau pun berkurang. Seolah ikan-ikan tersebut tidak pernah mati atau menurunkan generasi dan keturunan. Komunitas ikan kancra bodas ini tak dapat ditemui selain di kolam-kolam keramat yang ada di Kabupaten Kuningan. Keanehan lainnya terlihat dari polah tingkah laku mereka yang sangat akrab dengan manusia. Bila kolam dibersihkan, masyarakat sekitar sering melihat bahwa ikan-ikan yang ada di kolam tersebut menghilang. Mereka percaya bahwa ikan-ikan tersebut berpindah lokasi ke kolam-kolam keramat lainnya yang ada di Kuningan. Wallahhualam.
Harap Cantumkan Sumber web Ini Jika Anda Copas: http://www.ikadanewsonline.com/2011/07/mengintip-legenda-ikan-dewa-di-kaki.html
Copyright www.ikadanewsonline.com Under Common Share Alike Atribution
Harap Cantumkan Sumber web Ini Jika Anda Copas: http://www.ikadanewsonline.com/2011/07/mengintip-legenda-ikan-dewa-di-kaki.html
Copyright www.ikadanewsonline.com Under Common Share Alike Atribution
Home » Misteri Dunia » Mengintip Legenda Ikan Dewa di Kaki Gunung Ciremai Mengintip Legenda Ikan Dewa di Kaki Gunung Ciremai Posted by ADMIN on 11.7.11 Ikadanews - Kolam Keramat Cigugur terletak sekitar tiga kilometer dari ibukota Kabupaten Kuningan. Secara geografis, ”balong” itu masuk wilayah Kelurahan Cigugur. Menurut cerita yang berkembang dan dipercaya oleh masyarakat setempat, sebelum lahir nama Cigugur, tempat itu acap disebut dengan nama Padara. Istilah ini diambil dari nama seorang tokoh masyarakat, yaitu Ki Gede Padara, yang memiliki pengaruh besar di desa itu. Konon Ki Gede Padara lahir sebelum Kerajaan Cirebon berdiri. Menurut perkiraan, tokoh yang menjadi cikal bakal masyarakat Cigugur ini lahir pada abad ke-12 atau ke-13. Pada masa itu, beberapa tokoh yang sezaman dengannya sudah mulai bermunculan, di antaranya Pangeran Pucuk Umun dari Kerajaan Talaga, Pangeran Galuh Cakraningrat dari Kerajaan Galuh, dan Aria Kamuning yang memimpin Kerajaan Kuningan. Berdasarkan garis keturunan, keempat tokoh tersebut masih memiliki hubungan persaudaraan. Namun dalam hal pemerintahan, kepercayaan, dan ajaran yang dianutnya, mereka memiliki perbedaan. Pangeran Pucuk Umun, Pangeran Galuh Cakraningrat, dan Aria Kamuning menganut paham aliran ajaran agama Hindu. Sedangkan Ki Gede Padara tidak menganut salah satu ajaran agama. Pada abad ke-14 di Cirebon lahir sebuah perguruan yang beraliran dan mengembangkan ajaran agama Islam. Tokoh yang mendirikan perguruan tersebut ialah Syech Nurdjati. Selain Syech Nurdjati, Sunan Gunungjati pun memiliki peran yang besar dalam pengembangan perguruan Islam di tanah Caruban itu. Sebagai kuwu pertama di Dusun Cigugur diangkatlah Ki Gede Alang-Alang. Hingga wafatnya, beliau dimakamkan di Kompleks Masjid Agung. Di usia tuanyan, Ki Gede Padara punya keinginan untuk segera meninggalkan kehidupan fana. Namun, ia sendiri sangat berharap proses kematiannya seperti layaknya manusia pada umumnya. Berita tersebut terdengar oleh Aria Kamuning, yang kemudian menghadap kepada Syech Syarif Hidayatullah. Atas laporan itu, Syech Syarif Hidayatullah pun langsung melakukan pertemuan dengan Padara. Syech Syarif Hidayatullah merasa kagum dengan ilmu kadigjayan yang dimiliki oleh Ki Gede Padara. Dalam pertemuan itu Padara pun kembali mengutarakan keinginannya agar proses kematiannya seperti layaknya manusia biasa. Syech Syarif Hidayatullah meminta agar Ki Gede Padara untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagai syaratnya. Syarat yang langsung dipenuhi Ki Gede Padara. Namun, baru satu kalimat yang terucap, Ki Gede Padara sudah sirna. Setelah Ki Gede Padara menghilang, Syech Sarif Hidayatullah bermaksud mengambil air wudhlu. Namun, di sekitar lokasi tersebut sulit ditemukan sepercik air pun. Dengan meminta bantuan Allah SWT, dia pun menghadirkan guntur dan halilintar disertai hujan yang langsung membasahi bumi. Dari peristiwa inilah kemudian sebuah kolam tercipta. Namun, masyarakat setempat tidak tahu menahu kapan persisnya kolam tersebut dibangun. Satu hal pasti, kolam tersebut dianggap keramat. Apalagi setelah kolam ”ditanami” ikan kancra bodas. Pengeramatan tersebut juga dilakukan oleh masyarakat terhadap ikan sejenis yang hidup di kolam Darmaloka, Cibulan, Linggarjati, dan Pasawahan. Maksud pengkeramatan terhadap ikan langka tersebut tidak lain bertujuan untuk menjaga dan melestarikannya dari kepunahan akibat ulah manusia. Ada hal aneh yang sampai kini masih terjadi atas ikan-ikan itu: Jumlahnya dari tahun ke tahun tak pernah bertambah atau pun berkurang. Seolah ikan-ikan tersebut tidak pernah mati atau menurunkan generasi dan keturunan. Komunitas ikan kancra bodas ini tak dapat ditemui selain di kolam-kolam keramat yang ada di Kabupaten Kuningan. Keanehan lainnya terlihat dari polah tingkah laku mereka yang sangat akrab dengan manusia. Bila kolam dibersihkan, masyarakat sekitar sering melihat bahwa ikan-ikan yang ada di kolam tersebut menghilang. Mereka percaya bahwa ikan-ikan tersebut berpindah lokasi ke kolam-kolam keramat lainnya yang ada di Kuningan. Wallahhualam.
Harap Cantumkan Sumber web Ini Jika Anda Copas: http://www.ikadanewsonline.com/2011/07/mengintip-legenda-ikan-dewa-di-kaki.html
Copyright www.ikadanewsonline.com Under Common Share Alike Atribution
Harap Cantumkan Sumber web Ini Jika Anda Copas: http://www.ikadanewsonline.com/2011/07/mengintip-legenda-ikan-dewa-di-kaki.html
Copyright www.ikadanewsonline.com Under Common Share Alike Atribution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar