Senin, 20 Februari 2012

Kiamat Dari Krakatau



Senin 27 Agustus 1883 pukul 10.00 WIB adalah saat terakhir penduduk di sekitar
Selat Sunda melihat Matahari tengah naik ke puncaknya. Setengah jam kemudian,
mereka meregang nyawa diseret gelombang laut setinggi sampai 40 meter…Jumlah
seluruhnya 36.417 orang berasal dari 295 kampung di kawasan pantai Banten dan
Lampung. Keesokan harinya dan keesokan harinya lagi, penduduk sejauh sampai
Jakarta dan Lampung tak melihat lagi Matahari – gelap gulita. Apa yang terjadi
di hari yang seperti kiamat itu adalah letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda.
Suara letusannya terdengar sampai sejauh 4600 km dan di dengar di kawasan
seluas 1/8 permukaan Bumi. Telah banyak tulisan dan film di seluruh dunia
dibuat tentang kedahsyatan letusan Krakatau ini. University of North Dakota
Volcanic Explosivity Index (VEI) mencantumkan dua gunungapi di seluruh dunia
yang letusannya paling hebat dalam sejarah moderen : Krakatau 1883 (VEI : 6)
dan Tambora 1815 (VEI : 7). Dua-duanya ada di Indonesia, tak jauh dari kita.
Semoga kita, bangsa Indonesia – terlebih yang menamakan dirinya geologist,
mengenal dengan baik dua gunungapi ini.
Tetapi, banyak dokumen menunjukkan bahwa Krakatau 1883 bukanlah satu-satunya
letusan dahsyatnya. Sebelumnya, masih di Krakatau juga, ada letusannya yang
kelihatannya jauh lebih dahsyat lagi daripada letusan 1883, yang terjadi pada
masa sejarah, pada masa kerajaan-kerajaan Hindu pertama di Indonesia tahun
400-an atau 500-an AD (Anno Domini, Masehi). Tentu saja letusan ini tak banyak
ditulis apalagi difilmkan sebab pengetahuan kita tentangnya masih samar-samar,
walaupun nyata. Adalah B.G. Escher (1919, 1948) yang berdasarkan
penyelidikannya dan penyelidikan Verbeek (1885) – dua-duanya adalah ahli
geologi Belanda yang lama bekerja di Indonesia – yang menyusun sejarah letusan
Krakatau sejak zaman sejarah – moderen.
Saat ini, di Selat Sunda ada Gunung Anak Krakatau (lahir Desember 1927,  44
tahun setelah letusan Krakatau 1883 terjadi), yang dikelilingi tiga pulau :
Sertung (Verlaten Eiland, Escher 1919), Rakata Kecil (Lang Eiland, Escher,
1919) dan Rakata. Berdasarkan penelitian geologi, ketiga pulau ini adalah
tepi-tepi kawah/kaldera hasil letusan Gunung Krakatau (Purba, 400-an/500-an
AD). Escher kemudian melakukan rekonstruksi berdasarkan penelitian geologi
batuan2 di ketiga pulau itu dan  karakteristik letusan Krakatau 1883, maka
keluarlah evolusi erupsi Krakatau yang menakjubkan (skema evolusi Krakatau dari
Escher ini bisa dilihat di buku van Bemmelen, 1949, 1972, atau di semua buku
moderen tentang Krakatau).
B.G. Escher berkisah, dulu ada sebuah gunungapi besar di tengah Selat Sunda,
kita namakan saja KRAKATAU PURBA yang disusun oleh batuan andesitik. Lalu,
gunungapi ini meletus hebat (kapan ? ada dokumen2 sejarah tentang ini, ditulis
di bawah) dan membuat kawah yang besar di Selat Sunda yang tepi-tepinya menjadi
pulau Sertung, Rakata Kecil dan Rakata. Lalu sebuah kerucut gunungapi tumbuh
berasal dari pinggir kawah dari pulau Rakata, sebut saja gunungapi Rakata,
terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunungapi muncul di tengah kawah,
bernama gunungapi Danan dan gunungapi Perbuwatan. Kedua gunungapi ini kemudian
menyatu dengan gunungapi di Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan
ketiga gunungapi inilah yang disebut KRAKATAU. Tahun 1680, gunung Krakatau
meletus menghasilkan lava andesitik asam. Tanggal 20 Mei 1883, setelah 200
tahun tertidur, sebuah erupsi besar terjadi, dan terus-menerus sampai puncak
erupsi terjadi antara 26-28 Agustus 1883 (Inilah letusan Krakatau 1883 yang
terkenal itu). Erupsi ini telah melemparkan 18 km3 batuapung dan abu volkanik.
Gunungapi Danan dan Perbuwatan hilang karena erupsi dan runtuh, dan setengah
kerucut gunungapi Rakata hilang karena runtuh, membuat cekungan kaldera selebar
7 km sedalam 250 meter. Desember 1927, ANAK KRAKATAU muncul di tengah-tengah
kaldera.
Seberapa besar dan kapan erupsi KRAKATAU PURBA terjadi ? Inilah tujuan utama
tulisan saya kali ini. Tulisan2 yang berhasil dikumpulkan (buku2 dan paper2
lepas) menunjuk ke dua angka tahun : 416 AD atau 535 AD. Angka 416 AD adalah
berasal dari sebuah teks Jawa kuno berjudul ”Pustaka Raja Purwa” yang bila
diterjemahkan bertuliskan : ”Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari
Gunung Batuwara. Ada goncangan Bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan
kilat. Lalu datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai
menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan
mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, pulau
Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra” . Di tempat lain, seorang
bishop Siria, John dari Efesus, menulis sebuah chronicle di antara tahun 535 –
536 AD, “ Ada tanda-tanda dari Matahari, tanda-tanda yang belum pernah dilihat
atau dilaporkan sebelumnya. Matahari menjadi gelap, dan kegelapannya
berlangsung sampai 18 bulan. Setiap harinya hanya terlihat selama empat jam,
itu pun samar-samar. Setiap orang mengatakan bahwa Matahari tak akan pernah
mendapatkan terangnya lagi” . Dokumen di Dinasti Cina mencatat : ”suara guntur
yang sangat keras terdengar ribuan mil jauhnya ke baratdaya Cina”. (Semua
kutipan diambil dari buku Keys, 1999 : Catastrophe : A Quest for the Origins of
the Modern Worls, Ballentine Books, New York).
Itu catatan2 dokumen sejarah yang bisa benar atau diragukan. Tetapi, penelitian
selanjutnya menemukan banyak jejak-jejak ion belerang yang berasal dari asam
belerang volkanik di temukan di contoh-contoh batuan inti (core) di lapisan es
Antarktika dan Greenland, ketika ditera umurnya : 535-540 AD. Jejak2 belerang
volkanik tersebar ke kedua belahan Bumi : selatan dan utara.  Dari mana lagi
kalau bukan berasal dari sebuah gunungapi di wilayah Equator ? Kumpul-kumpul
data, sana-sini, maka semua data menunjuk ke satu titik di Selat Sunda :
Krakatau ! Adalah letusan KRAKATAU PURBA penyebab semua itu.
Letusan KRAKATAU PURBA begitu dahsyat, sehingga dituduh sebagai penyebab semua
abad kegelapan di dunia. Penyakit sampar Bubonic (Bubonic plague) terjadi
karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan telah mengurangi
jumlah penduduk di seluruh dunia. Kota-kota super dunia segera berakhir, abad
kejayaan Persia purba berakhir, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan
Bizantium terjadi, peradaban South Arabian selesai, berakhirnya rival Katolik
terbesar (Arian Crhistianity), runtuhnya peradaban2 purba di Dunia baru –
berakhirnya negara metropolis Teotihuacan, punahnya kota besar Maya Tikal, dan
jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Kata Keys
(1999), semua peristiwa abad kegelapan dunia ini terjadi karena bencana alam
yang mahabesar, yang sangat mengurangi cahaya dan panas Matahari selama 18
bulan, menyebabkan iklim global mendingin.
K. Wohletz, seorang ahli volkanologi di Los Alamos National Laboratory,
mendukung penelitian David Keys, melalui serangkaian simulasi erupsi KRAKATAU
PURBA yang terjadi pada abad keenam Masehi tersebut. Artikelnya (Wohletz, 2000
: Were the Dark Ages Triggered by Volcano-Related Climate Changes in the Sixth
Century ? – If So, Was Krakatau Volcano the Culprit ? EOS Trans American
Geophys Union 48/81, F1305) menunjukkan simulasi betapa dahsyatnya erupsi ini.
Inilah beberapa petikannya. Erupsi sebesar itu telah melontarkan 200 km3 magma
(bandingkan dengan Krakatau 1883 yang 18 km3), membuat kawah 40-60 km, letusan
hebat terjadi selama 34 jam, tetapi terus terjadi selama 10 hari dengan mass
discharge 1 miliar kg/detik. Eruption plume telah membentuk perisai di atmosfer
setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur 5-10 derajat selama 10-20 tahun.
Begitulah, Escher dan Verbeek menyelidiki ada erupsi Krakatau Purba;  dokumen2
sejarah dari Indonesia (Pustaka Raja), Siria, dan Cina mencatat sebuah bencana
yang sangat dahsyat terjadi di abad 5 atau 6 Masehi; ice cores di Antarktika
dan Greenland mencatat jejak2 ion sulfate volkanik dengan umur 535-540 AD,
peristiwa2 Abad Kegelapan d seluruh dunia terjadi pada abad ke-6, dan simulasi
volkanologi erupsi Krakatau Purba : semuanya kelihatannya bisa saling mendukung
untuk a Super Collosal Eruption of proto-Krakatau 535 AD.
Kalau benar, gunungapi itu hanya di Selat Sunda, tak jauh dari kita, semoga
kita mengenalnya dengan lebih baik, dan makin banyak ahli2 Indonesia yang
meneliti serta menuliskannya (sebab kini sedikit sekali bilangan ahli kita yang
mempelajari dan menuliskannya – cukup dihitung dengan jari-jari di satu tangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar