Senin, 20 Februari 2012

Dalam Bayangan Dewa Gunung

KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT Warga berjalan mengangkut pakan ternak membelah lautan pasir di kaldera Tengger, Probolinggi, Jawa Timur, Minggu (13/11/2011). Di tengah kaldera terdapat gunung api aktif yaitu Gunung Bromo.
Oleh Amir Sodikin dan Idha Saraswati

KOMPAS - Setelah satu tahun rehat, warga Desa Ngadirejo, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, kembali ke ladang. Mereka menyingkirkan pasir sisa letusan Gunung Bromo dan kembali bercocok tanam, seolah petaka tak pernah terjadi.

Pagi itu, pertengahan November 2011. Kabut menyelimuti desa yang berbatasan dengan kaldera Bromo purba. Di tengah suhu dingin dan gerimis, Sastriarsi (40) dan anaknya, Hardianti (20), dengan giat mencangkul lahan dan menyiapkan bibit bawang daun (Allium sp).

”Ini pertama kali kami kembali menanam,” kata Sastriarsi. Sebelumnya, sejak November 2010, Bromo meletus dan mengirim abu serta pasir ke Ngadirejo. Letusan itu seolah tak berkesudahan dan terus berlangsung hingga hampir tujuh bulan.

Kuncoro (45), Kepala Urusan Desa Ngadirejo, mengatakan, letusan paling parah terjadi Januari hingga Maret 2011. Ketebalan abu dan pasir mengubur Ngadirejo hingga lebih dari 2 meter. Beberapa rumah roboh, termasuk balai desa.

Walaupun tak ada korban jiwa, kehidupan warga desa berada di titik nadir. Hampir sepanjang tahun 2011 warga yang hidup sebagai petani itu tak bisa bercocok tanam. Pasir dari Bromo itu seperti racun yang mematikan tanaman.

”Orang sini itu tak punya tabungan uang. Tabungannya di ladang-ladang, seperti sayuran yang ditanam,” kata Sastriarsi. ”Tapi bagaimana lagi, semua sayuran mati, bibit juga mati, lahan tak bisa ditanami.”

Untuk menyambung hidup, hampir semua laki-laki yang masih sehat di desa itu pergi ke kota mencari pekerjaan seadanya. ”Ada yang menjadi buruh serabutan, tukang kayu, pelayan toko, atau bekerja di restoran. Suami saya bekerja di swalayan di kota,” kata Hardianti. Bantuan yang datang dari luar turut meringankan derita warga.

Adaptasi

Sekalipun selalu berada dalam ancaman, warga Ngadirejo tak akan pernah mau meninggalkan desa mereka. Sastriarsi mengatakan, hidup di kaldera Tengger harus tegar. Rasa takut harus dibuang jauh. ”Kami tidak takut lagi kalau Bromo meletus. Anak-anak juga tak takut. Bromo sebelumnya juga sudah meletus besar. Saya sendiri mengalami empat letusan besar,” katanya.

Dalam setiap letusan, Sastriarsi tak pernah mau mengungsi. Mereka memilih bertahan di rumah sambil membersihkan atap dari debu dan pasir. ”Kalau ditinggalkan, rumah pasti ambruk,” katanya. ”Lagi pula, letusan ini tak selamanya.”

Tanah yang semula tak bisa ditanami, setelah beberapa bulan, justru menjadi lebih subur tanpa dipupuk. ”Jadi, kami hanya perlu bersabar menunggu alam bekerja,” kata Sastriarsi. ”Setelah itu, giliran kami yang bekerja.”

Sastriarsi pun menolak bantuan uang karena yang mereka butuhkan saat ini bukan uang. ”Kami tak mau dibantu dengan uang karena yang kami butuhkan bibit pertanian. Soalnya, tabungan kami yang berupa bibit tanaman sudah ludes,” katanya.

Kehendak alam

Ketegaran Sastriarsi dan orang-orang Tengger lain muncul dari keyakinan. Mereka meyakini, kawah Bromo merupakan persemayaman leluhur yang telah didewakan. Sutomo, dukun (sebutan untuk pemimpin adat) di Ngadisari, mengatakan, jika warga tetap menjalin harmoni dengan dewa-dewa di Bromo dan rutin memberikan sesaji, korban bencana letusan akan bisa diminimalisasi, bahkan bisa nol sama sekali.

Karena itu, saat Bromo meletus pada 2010-2011, berbagai upacara pun digelar. Namun, Bromo ternyata tetap mengirim pasir dan abu. ”Letusan Bromo sudah kehendak alam, mau diupacarakan seperti apa, mau diberi sesajen seberapa pun, kalau sudah kehendak-Nya, ya, tetap saja meletus,” kata Asih (40), warga Ngadirejo.

Namun, menurut Asih, bukan berarti upacaranya tak berguna. ”Permintaan dalam upacara itu adalah agar tak ada korban yang jatuh. Ternyata memang tak ada korban satu pun,” ujarnya.

Menurut Asih, banyak persepsi warga yang salah terhadap letusan Bromo karena menerapkan pandangan luar untuk Bromo. ”Waktu itu, kan, banyak yang menonton televisi saat Merapi meletus. Karena itu, kami ketakutan sekali, mengira Bromo itu akan meletus seperti Merapi,” kata Asih.

Sejumlah warga sempat takut dan mengungsi, tetapi segera kembali ke rumah karena mereka kemudian menyadari, letusan gunung itu berbeda dengan Merapi yang eksplosif. ”Kami dengar, Bromo akan meletus lagi tahun 2012. Entah benar atau tidak. Tapi, kami akan hadapi saja dengan berdoa agar tak ada korban jiwa. Kami sudah sering bertemu dan menghadapi segala kemungkinan letusan Bromo. Jadi, kami sudah tidak takut lagi,” kata Asih.

Namun, keberanian hidup itu, menurut Asih, tidak sepenuhnya ditopang kenekatan. Prosedur pengungsian dan cara menghadapi bencana perlahan mulai diterima warga. Taruna Siaga Bencana pun dibentuk.

Warga kini semakin sadar bahwa hal terpenting saat tinggal di tepi Bromo adalah bagaimana memahami kehendak alam, memilih menyingkir pada saat yang tepat, dan menentukan saat kapan harus kembali.

1 komentar:

  1. mantap brow,,,Tapi sekarang turis makin rame berkunjung ke bromo ya brow?

    BalasHapus