Rabu, 08 Februari 2012

Dunia Bawah Sana, Fotografi Gua

Keindahan tersembunyi
Angker dan keramat......begitulah kesan kebanyakan orang terhadap gua, memang tidak salah apabila masyarakat beranggapan demikian, selain sebagai salah satu bentuk local wisdom akibat masih lekatnya nilai-nilai budaya dan kepercayaan nenek moyang, anggapan tersebut setidaknya turut menjaga gua dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak bertanggungjawab. Tanpa kita sadari....betapa banyak gua-gua yang tersebar di negeri kita ini, melalui proses yang sangat panjang gua-gua tersebut mulai terbentuk, dalam keheningan dan kegelapan abadi. Selama ribuan tahun air bekerja siang dan malam melarutkan gram demi gram batugamping, menoreh....memotong....mengikis, semua berjalan begitu tenang. Sungguh sangat berbeda dengan pembangunan mall-mall atau jembatan oleh manusia, begitu berisik dan terkadang mengganggu siapapun yang ada di sekitarnya.

Menelusuri gua, bagi manusia sebenarnya sangat membahayakan. Kondisi lorong gua yang berlumpur, berair dalam, sempit, gelap gulita dan kadang membentuk sumuran dengan kedalaman puluhan hingga ratusan meter memaksa setiap penelusurnya memiliki ketrampilan khusus, dari teknik penelusuran biasa hingga Single Rope Technique (teknik melewati tali tunggal). Ketrampilan khusus lain seperti berenang, panjat tebing dan menyelam akan sangat membantu setiap penelusur gua,

Beragam latar belakang ketika manusia memutuskan untuk menelusurinya, sekedar petualangan, pemetaan gua, penelitian ilmiah, survey kelayakan wisata, hingga penggalian potensi air bawah tanah, semuanya sah dilakukan selama pelakunya bertanggungjawab terhadap faktor keselamatan diri dan lingkungannya.

Bagian dari pilihan hidup
Sebagai seseorang yang memiliki hobi memotret, gua merupakan obyek yang sangat menarik perhatian saya selama ini. Kondisi medan yang serba ekstrem baik bagi penelusur maupun peralatan fotografi, membawa konsekuensi logis yang cukup berat,  setidaknya kita harus merelakan properti kita berperang dengan kelembaban yang tinggi, belepotan lumpur, tercelup air dan kadang terbentur sesuatu, sehingga pilihan terakhir yang tidak bisa di tawar adalah mem-packing segala sesuatu yang berhubungan dengan pemotretan dengan ekstra baik.

Menyadari potensi bahaya yang ada merupakan sebuah langkah bijak, apapun bisa terjadi dalam penelusuran kita, karena itu penelusuran gua tidak bisa dilakukan seorang diri.  Jumlah minimal yang direkomendasikan adalah 3-4 orang, masing-masing tentunya dengan 3 buah sumber cahaya (carbide lamp atau electric lamp) dan seperangkat alat safety seperti helm, sepatu boot, coverall serta SRT set untuk lorong vertikal.

Sebuah kamera SLR analog dengan lensa zoom 35-70 mm masih menjadi sahabat saya dalam pemotretan gua hingga saat ini, selain ringkas dan “bandel”, kebutuhan akan efisiensi pasca pemotretan masih belum begitu mendesak, meskipun beberapa kali eksperimen dengan kamera saku digital mampu memberikan hasil “bersaing” dalam hal kepraktisan maupun kualitas gambar. Bahkan secara jujur saya akui ada beberapa kelebihan pada kamera digital seperti kekayaan warna dan tingkat kekontrasan gambar yang lebih baik.

Open Flash
Jarak pandang yang hanya beberapa meter ke sekitar kita, dengan lorong yang terkadang hanya muat sebatas badan tidaklah begitu saja membuat seorang pemotret gua menyerah. Dunia fotografi sedemikian luwesnya, begitu fleksibel. Tidak ada satu kondisi pun yang tidak dapat didokumentasikan selama masih ada kemauan yang kuat dari fotografer.

Tiga buah flash yang telah dibungkus plastik transparan….dengan slave units, kamera yang terpasang pada modus bulb dan tersandar kokoh pada tripod, dengan satu komando dari fotografer, maka gambar demi gambar akan segera terekam. “Open Flash” begitulah kita menyebutnya, tidak ada satu pun flash yang kontak dengan body kamera, sebagai gantinya rekan satu tim bertugas sebagai operator flash.

Pengarahan dari fotografer menjadi penting bagi operator flash, berkaitan dengan konsep foto yang direncanakan dan pencahayaan. Menjaga mood operator flash menjadi tantangan tersendiri bagi fotografer gua, karena bekerja dalam kondisi yang sulit dan tertekan oleh situasi dan kondisi akan cepat membuat sifat asli seseorang muncul ke permukaan.

Open flash membuat kita lebih leluasa memunculkan beberapa efek pencahayaan, termasuk kedalaman dimensi dalam gambar, frontlight….sidelight…backlight…atau bahkan kombinasi antara ketiganya. Dalam beberapa hal saya masih terkesima dengan efek dramatis yang dihasilkan oleh backlight.

Try and Error
Banyak hal yang akan memaksa kita beberapa kali harus menekan tombol shutter untuk obyek yang sama, faktor kegelapan total sering membuat hasil bidikan kita tidak fokus, penggunaan speed lambat membuat camera shake, kabut dari tubuh kita membuat flash tak mampu menembus objek dengan kualitas cahaya cukup sehingga gambar under exposure,  dinding gua yang terlapisi mineral kalsit (yang berwarna putih) memantulkan cahaya berlebihan menyebabkan over exposure, kelembaban sering membuat kamera kita macet dan flash cepat lowbatt.

Ketenangan, kesabaran dan tim yang memahami konsep yang diinginkan fotografer setidaknya harus menjadi prioritas disamping faktor safety procedure penelusuran. Beberapa kali toleransi dan perubahan setting pencahayaan juga perlu di lakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Gua menyediakan semua hal yang menarik untuk di potret, bentuk lorong, ornamen gua, aktivitas penelusur, biota gua dan lain sebagainya. Namun jangan pernah terlena oleh dramatisnya hasil pemotretan kita di gua, karena setiap saat potensi bahaya selalu mengancam keselamatan  jiwa kita dan rekan-rekan kita. Peraturan tak tertulis dalam kegiatan alam bebas mengatakan “Setiap langkah kita dari pintu rumah menuju alam liar membawa kita pada suatu batas tipis ketidakpastian”.

(Dimuat dalam Majalah Fotografi SNAP edisi 006 th. 2007)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar