Setelah sore tanggal 4 Oktober 2011 kita harus bersesak napas di Gua Siyem, tanggal 5 Oktober Maya dan Baihaqi menemani kita untuk menyusuri gua yang relatif dekat dengan basecamp.
Ketika di basecamp, Maya hanya menyampaikan kalau ada dua gua di dekat basecamp, yaitu Gua Lou dan Gua Bangi. Akhirnya jam 10-an kita berangkat menuju Gua Bangi terlebih dahulu, menyusuri jalan tanah desa.
Sampai di lembah dengan sumur yang masih berair, Maya menunjukkan kalau ada mulut gua di kaki tebing dekat pohon bambu, katanya Gua Lou. Karena guanya nanti akan dilewati lagi, akhirnya kita memutuskan menuju Gua Bangi yang lebih jauh dari Gua Lou.
Setelah menyusuri jalan desa dan setapak di rerimbunan pohon, akhirnya kita sampai di lembah kecil dengan dikelilingi bukit kecil.
Di salah satu tebingnya ada mulut gua yang agak tersembunyi karena, oleh warga di depan mulut gua diberi batu sehingga mulut gua memiliki semacam tebing dengan ketinggian sekitar 2-3 meter.
Setelah sampai mulut gua, Maya dan Baihaqi baru bercerita kalau Gua Bangi dan Gua Lou merupakan satu gua yang bisa ditempuh sekitar 3 jam untuk mencapai mulut Gua Lou.
Untuk menuruni, kita harus berpegangan dengan webbing yang ditambatkan di pohon. Menysusuri gua ini tidak memerlukan peralatan gua vertikal, karena dengan berpegangan pada webbing, kita sudah bisa mencapai bagian dasar gua karena tersedia banyak pijakan.
Baihaqi yang pernah tembus bercerita kalau lorong gua ini sangat rendah dan banyak merangkak bahkan kalo menurut saya malah lebih banyak merayap dan ngesot.
Karena sudah merasa bukan caver yang muda lagi, sempat keder juga dikasih tahu sekilas apa yang akan ditempuh. Mengingat, perut sudah sangat mengganggu untuk berjalan di lorong yang rendah dengan jongkok atau merangkak.
Akhirnya diputuskan, kita akan tembus ke Gua Lou daripada kita harus keluar dan masuk lagi ke Gua Lou. Setelah itu diputuskan, saya dan sigit akan masuk ditemani Maya dan Baihaqi. Sementara Hari dan Mas Roim sementara waktu menunggu di mulut Gua Bangi sekiranya ada skenario kita kembali keluar dari Bangi sehingga webbing belum dilepas.
Kemudian kita masuk dan diputuskan menembus ke Gua Lou sementara Hari dan Mas Roim akan menunggu di Gua Lou setelah waktu yang disepakati.
Panas dan pengap
Mulut gua yang mungkin dulunya bisa memungkinkan sirkulasi udara namun kini menjadi seperti tertutup sehingga tidak memberikan banyak peluang untuk udara bersirkulasi di dalam gua.
Mulut dengan lebar sekitar 5 meter ini di bagian awal memeliki lorong yang lebar dan tinggi dengan lantai gua didominasi oleh tanah yang berbatu. Di beberapa tempat ada ornamen gua seperti stalagtit namun tidak cukup berkembang.
Beberapa fauna yang teramati seperti kalacemeti dari marga Charon yang berukuran relatif besar dan juga dari kelompok marga Sarax yang relatif berukuran lebih kecil dibandingkan Charon.
Lorong gua yang lebar, tidak menjadikan bagian lorong ini menjadi sejuk, namun seakan panas dan pengap. Menyusuri bagian dalam gua, kondisi pengap ini masih sangat kental namun tidak seekstrim di Gua Siyem.
Lorong yang tidak berair ini semakin mengecil loronnya, dengan lantai gua berlumpur dan dengan beberapa genangan air. Kemudian sampai di ruangan kecil dengan lorong menurun untuk mencapai batas muka air dimana sungai bawah tanah kecil mulai ditemukan di lorong guanya.
Lorong gua dengan atap gua pendek dan agak sempit dengan sungai kecil mengalir didalamnya terus mendominasi lorong-lorong berikutnya.
Merangkak atau ngesot?
Menyusuri Gua Bangi untuk tembus ke Gua Lou memang bukan hal yang mudah.
Benar apa yang disampaikan Baihaqi sebelumnya kalau selama beberapa jam kita hanya akan merangkak dan berendam sepanjang lorong gua.
Sigit selalu didepan sambil membawa jaring kelelawar untuk koleksi kelelawar bersama Baihaqi. Sementara Maya ada di depanku dan aku selalu memilih untuk di belakang.
Terus terang, umur dan perut memang sudah tidak bisa lagi bohong. Setiap berjalan jongkok, selalu ada sesuatu yang mengganjal. Sementara untuk berjalan merangkak sebuah siksaan tersendiri karena lutut tanpa pelindung ibarat kepala tanpa helm.
Akhirnya, sepanjang lorong hanya bisa ngesot dengan menyeret tackle bag yang lumayan berat.
Di tengah lorong yang cukup menguras energi, saya iseng nanya ke Baihaqi masih berapa jauh lagi (* ekspresi putus asa sebenarnya)
“Ini masih sepertiganya mas, masih seperti ini terus sampai keluar di Gua Lou” kurang lebih seperti itu yang disampaikan Baihaqi menjawab pertanyaan ku.Sigit yang mendengar pun langsung mengambil nafas dalam-dalam.
Namun, bagaimanapun kita sudah mengambil keputusan seberat apapun harus dijalani.
Akhirnya kita terus menyusuri lorong yang pendek dan saya masih terus saja ngesot karena lutut seperti sudah tidak sanggup menahan beban.
Dalam hati saya hanya bisa bilang “my knee was not designed for crawling, its only for thinking”Di sepanjang lorong, tidak banyak ornamen yang ditemui, hanya lorong sempit yang beratap rendah dan berair, dan yang penting adalah airnya relatif bersih dan tidak berbau.
Bisa terbayang kalau air yang disusuri berair yang kotor dan bau sperti gua-gua lain yang disekitar rumah penduduk.
Berendam bareng lele
Semakin jauh, kedalaman air semakin dalam di beberapa tempat. Secara sekilas terlihat ada beberapa ekor lele yang berukuran cukup besar berwarna putih. Sedikitnya ada tiga ekor yang diamati.
Selain lele, ada ikan lain yang juga sempet tertangkap dengan jaring kelelawar sigit.
Akhirnya, dalam perjalanan keluar Baihaqi berhasil menangkap satu ekor lele yang mungkin bermanfaat bagi kolega kita di Museum.
Setelah melalui lorong yang melelahkan, akhirnya kita keluar juga di mulut Gua Lou.
Di luar, Hari dan mas Roim sudah menunggu di depan mulut gua yang hampir mirip dengan mulut Gua Bangi yang dikelilingi oleh batu yang ditata.
Cukup melelahkan, untuk orang sperti saya yang sudah cukup lama tidak caving yang berat.
Semoga, kelak bisa menyusuri gua yang lebih banyak lagi dan lebih berat lagi.
(**CR**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar