Selasa, 24 Januari 2012

Clipeata dan Goa Walet di Atas Bukit Kelam




Goa walet alami yang dikelola oleh masyarakat setempat secara bergantian.

Foto Selengkapnya

Pondok milik Andi memang tidak besar. Ukuran totalnya mungkin hanya 6x6 meter, mencakup serambi, ruang tidur, dapur, dan tempat bak penampung air. Dibangun sedemikian rupa sehingga pondok serba kayu ini bisa tegak berdiri meski berada di kemiringan Bukit Kelam. Pondok Andi bisa jadi adalah tempat ternyaman di bukit berketinggan 990 meter ini. Kami menghabiskan malam dengan tidur meringkuk berbalut jaket dan sarung, kelelahan setelah enam jam mendaki bukit dengan medan yang begitu curam. Diterangi satu lampu berbahan bakar minyak tanah, pondok kecil ini terasa begitu hangat di tengah riuhnya suara hujan di luar.

Bukit Kelam berbalut kabut saat pagi menjelang. Udara dari atas begitu segar. Tak ada kebisingan, selain kicau sang alam. Suasana ini begitu cepat membuat saya betah. Sayang, rasa pegal luar biasa melanda kaki kami bertiga, para pendaki amatiran, membuat cara jalan kami kurang lebih mirip pinguin.

Andi adalah seorang pemuda 21 tahun yang sedang bertugas menjaga salah satu goa walet alami yang ada di Bukit Kelam. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sarang walet memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Perkilonya bisa mencapai harga 7 hingga 11 juta rupiah.

Total ada dua Goa Walet yang dikelola oleh masyarakat lokal di sekitar bukit. Keduanya terletak beberapa meter dari pondok Andi. Namun, sekilas goa tersebut hanya seperti sebuah lubang sumur yang memanjang. Ternyata selain memiliki pintu vertikal, goa-goa ini juga bisa diakses lewat pintu horizontal yang berlokasi jauh di bawah tempat pondok penjaga berdiri.

Goa walet ini bisa dibilang adalah properti bersama. Sistem pengelolaannya bergantian, tergantung siapa yang bersedia menjaga goa dalam durasi waktu tertentu. Hal ini dikarenakan, biaya yang dibutuhkan untuk membayar jasa berikut konsumsi sehari-hari satu penjaga Goa Walet memang tidak murah. Karena itu masyarakat sekitar menetapkan sistem kelola secara bergantian.

Sudah sejak lama Goa Walet ini diwariskan secara turun-temurun untuk masyarakat lokal. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, goa-goa ini banyak dimasuki oleh pihak-pihak yang tidak diundan. Sejak itulah goa walet ini selalu dijaga oleh orang yang berpengalaman agar tidak terjadi pencurian sarang walet.

Bukit Kelam ternyata termasuk kawasan konservasi di bawah BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kalimantan Barat. Kami diajak untuk masuk ke lokasi bukit pada sisi yang lain oleh Bang Wel, salah seorang pegawai BKSDA yang sering malang melintang di atas Bukit Kelam.

Dia bercerita, bahwa Bukit Kelam adalah habitat kantong semar endemik. Tanaman pemangsa serangga ini sering mereka sebut sebagai Nephentes clipeata. Perbedaan paling mencolok dengan kantong semar lain yaitu jenis clipeata ini memiliki bentuk daun yang lebar, bukan pipih panjang seperti pada umumnya.

Sayangnya, clipeata ini tidak bisa kami saksikan dengan mata kepala sendiri, karena menurut Bang Wel, selain masuk kategori hampir punah akibat ulah pihak yang tidak berwenang, tanaman endemik ini hanya bisa ditemukan di dekat tebing-tebing curam. Untuk mengambil gambarnya pun pihak BKSDA harus bekerja sama dengan para wall climber. Mereka sedang mengusahakan agar kantong semar jenis clipeata yang tak ada di tempat lain ini bisa dibudidayakan sebelum benar-benar punah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar