Jumat, 23 Maret 2012

Curug Lawe Berjuntai Seperti Benang Lawe



Satu lagi potensi wisata alam yang bisa diandalkan Kabupaten Temanggung, sebenarnya Temanggung mempunyai banyak tempat dengan pesona alam indah yang dapat dikembangkan untuk tempat wisata, sebut saja salah satu diantaranya adalah Curug Lawe, lokasi di desa Muncar Kecamatan Gemawang, kurang lebih 26 Km dari kota Temanggung menuju ke arah utara.
Air yang jatuh dari ketinggian seperti juntaian benang-benang putih, masyarakat setempat mengistilahkan seperti benang lawe, maka air terjun tersebut dinamai Curug Lawe, ekosistem di lokasi masih terbilang alami, belum mengalami pencemaran, aneka satwa seperti burung-burung terdengar berkicau satu-sautan, kadang kala terlihat sekawanan kera terjun dari pepohonan meneguk air di sungai, ada juga buah-buahan khas Gemawang seperti buah Cendul ( buah Kepel ) dapat dipetik secara gratis di hutan sekitar curug.





Akses kendaraan untuk sampai desa Muncar sangat mudah, jalan menuju Muncar telah beraspal, namun untuk menuju lokasi curug anda harus menitipkan kendaraan kepada penduduk setempat yang terkenal sangat welcome dan ramah kepada pengunjung luar kota, selanjutnya sambil menikmati sensasi olah raga jalan kaki cross country anda akan melewati jalan setapak di bawah naungan pepohonan menuju lokasi curug, sangat cocok bagi wisatawan yang gemar petualangan alam.


Tidak jauh dari lokasi curug juga terdapat obyek lain yaitu mata air panas yang dapat untuk penyembuhan penyakit kulit, atau untuk berendam menghilangkan rasa lelah.                                                                                             Selesai refreshing di areal Curug Lawe baiknya anda mampir ke Pasar Desa Gemawang, sekedar membeli oleh-oleh berupa aneka sayuran segar dan buah pisang yang beraneka ragam jenisnya, atau jajanan khas desa Gemawang seperti Cethil, Gathot, Tiwul dan sebagainya.                                                                                           Potensi yang bisa di kembangkan di Curug Lawe selain panorama air terjun adalah pemandian air panas, wisata air seperti kolam renang dengan berbagai fasilitasnya, atau wisata alternatif seperti out bound, adveturezone, woodball, arena motorcross dan jalur offroad sangat memungkinkan untuk dibangun disana.                                                                      Pokoknya Curug Lawe sangat cocok untuk wisatawan yang gandrung dengan petualangan alam liar, ayo siapa berminat, datang saja ke Temanggung

Ki Ageng Surodipo dan Curug Trocoh




Curug Trocoh atau dengan nama lain Curug Surodipo adalah potensi wisata lain di Kabupaten Temanggung, letaknya kurang lebih 28 Km ke arah barat daya dari kota Temanggung, tepatnya di desa Tawangsari kecamatan Wonoboyo, pesona keindahan dan kesejukan akan terasa sekali kalau kita berada di lokasi, percikan air seperti kabut dari air yang terjun dari ketinggian 120 M akan menyapu tubuh dan membuat kita merasa segar seperti dalam steambath yang dingin, kadangkala terlihat pelangi melingkar di sekitar curug bila terkena sinar matahari, kelebihan curug ini memiliki lima terjunan yang bertingkat-tingkat rata-rata setiap 20 M, air jatuh dari tebing batu yang terbentuk seperti relief alam yang indah.
Nama Curug Surodipo diberikan sebagai penghormatan kepada tokoh legenda lokal, Ki Ageng Surodipo adalah salah seorang  panglima perang Pangeran Diponegoro ( 1825 - 1830 ), yang membangun benteng pertahanan di desa Tawangsari Wonoboyo, ada beberapa petilasan tak jauh dari lokasi tersebut.


Sebuah tempat persemedian berupa goa-goa di sekitar batuan besar bernama Watu Godheg yang berada tak jauh dari curug dipercaya sebagai petilasan Ki Ageng Surodipo, tidak sedikit dari para pengunjung sengaja datang untuk melakukan meditasi di tempat tersebut untuk memperoleh kekuatan supranaturalnya. Keistimewaan Curug Surodipo adalah airnya yang tak pernah surut, pada musim kemarau terkering sekalipun,  para pengunjung dapat bersantai diatas batuan alam sambil menikmati keindahan air terjun, atau bermain air yang bersih, dingin dan menyegarkan, lingkungan sekitar air terjun masih sangat alami, sejauh mata memandang adalah huma dan gugusan pepohonan hijau yang menyejukkan.

Potensi lain sebagai wisata rintisan yang dapat dikembangkan di Curug Surodipo ini masih terbuka lebar,  karena ketersediaan sumber daya alam sangat mendukung, sumber air yang melimpah merupakan aset untuk pengembangan wisata air, seperti kolam renang dengan papan luncur atau waterboom, kolam arus bagi wisatawan yang gemar menyusuri arus dengan prahu kayak, pancuran ketinggian untuk terapi tubuh dari pegal-pegal setelah lelah beraktivitas di tempat wisata, atau wahana outbound dan panjat tebing bagi wisatawan yang akan memacu andrenalin.

Jarak tempuh yang tidak terlalu jauh dari ibukota kecamatan Wonoboyo sangat menungkinkan untuk pengembangan obyek wisata ini, tinggal mempermudah akses seperti pembangunan dan pelebaran jalan ke lokasi, penyediaan sarana dan prasarana pendukung wisata seperti, areal parkir, kios souvenir, tempat ibadah, sarana sanitasi, penerangan jalan dan sebagainya, tinggal bagaimana Pemkab. Temanggung menyediakan dana atau menggandeng investor mau meraih peluang emas ini.

 

Di Posong Aku Menantimu




Enam bulan lalu ketika saya melintasi jalan yang membelah Gunung Sindoro dan Sumbing  dari Temanggung menuju ke arah Wonosobo mendadak tertegun di pemberhentian desa Tlahap Kledung, ada sebuah papan penunjuk arah ke sebuah tempat yang sepertinya baru saya dengar, sudah beberapa lama saya tidak melewati jalan itu, pikir saya mumpung lagi berada disitu sekalian saya ingin menengok barang sejenak, juga untuk menuruti rasa penasaran "  Posong " apakah itu.
Menelusuri jalan desa Tlahap menuju lokasi sepanjang kurang lebih 3,50 Km dari jalan Temanggung  - Wonosobo disambut dengan keramahan khas masyarakat pedesaan di lembah Sindoro itu, murah senyum bahkan tak segan-segan meminta saya untuk mampir, kesempatan itu saya gunakan untuk bertanya dimana lokasi Posong itu. mereka dengan suka cita menunjukkan tempat yang ingin saya tuju.





Sepanjang jalan menuju lokasi apa yang saya lihat memang sudah menarik, perumahan penduduk yang berdiri diatas kontur tanah yang bertingkat-tingkat di kejauhan sudah menjadi suguhan tersendiri untuk dilihat, tak berapa lama sampailah saya.

Posong adalah dataran tinggi di punggung gunung Sindoro, yang sedang dikembangkan secara swasembada oleh masyarakat setempat, memang bukan isapan jempol belaka, panorama sangat indah terbentang di depan mata saya, andai saja dikelola secara sungguh-sungguh saya yakin akan menjadi obyek wisata yang menarik bagi penggemar traveling.
 
Namun untuk mencapai kearah itu masih banyak yang harus dikerjakan, pertama yang paling penting adalah pembangunan infrastruktur untuk akses masuk ke lokasi,  jaringan air bersih, tempat parkir wisatawan dengan kios-kios souvenir dan gardu pandang.



Posong bisa dikemas satu paket dalam desa wisata, suguhan makanan khas, atraksi kesenian lokal dan wahana lain seperti fasilitas out bond dan sebagainya, yang jelas apa  yang ditampilkan asal jangan sampai keluar dari konsep konservasi alam, karena apa yang disajikan memang fenomena alam.

 


Ada hal lain lagi yang menarik di sekitar Posong, yaitu pemandangan " Watu Kelir " berupa deretan tebing  batu sepanjang 400 M, dan juga " Watu Mlongso " yang merupakan sungai berdasar batu besar yang diyakini  terbentuk  dari hasil erupsi gunung Sindoro di masa purba.
Melihat fenomena alam yang menakjubkan tersebut memang membuatku betah dan ingin rasanya berlama-lama disana, apalagi menurut penduduk setempat sebaiknya saya menginap barang semalam, karena esok paginya ada lagi suguhan alam yang spektakuler, yaitu terbitnya matahari yang disaksikan dari ketinggian punggung Sindoro itu, katanya itulah paket utama wisata alam di Posong.



Posong ibarat gadis cantik yang baru bangun tidur, belum berdandan, coba kalau sudah berdandan dan merubah penampilan, siapapun pasti akan meliriknya, dan akan betah berlama-lama bersamanya, dan sedikit harapan saya semoga pihak PemKab, investor atau pihak manapun mau memfasilitasi Posong untuk berbenah diri, agar kecantikan watu kelir dan watu mlongso tidak mubazir ditelan kerimbunan semak, bisa menampakkan aura keindahannya sehingga banyak mengundang wisatawan yang nantinya berimbas pada tambahnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lembah Sindoro itu.
Sayang sekali waktu saya terbatas, karena harus melanjutkan perjalanan, maka dengan sangat terpaksa harus meninggalkan tempat indah itu, seorang gadis desa yang sangat mirip dengan bintang sinetron Indonesia tersenyum melambaikan tangan kearah saya, ketika berlalu dari Posong, seolah ia berkata " Di Posong aku menantimu "






Mistery Situs Liyangan

 


Tahun 2008 masyarakat Temanggung tiba-tiba saja dikejutkan dengan adanya sebuah penemuan candi lagi, di sebuah penambangan pasir tidak jauh dari candi Pringapus, tepatnya di Dusun Liyangan, Desa Purbasari Kecamatan Ngadirejo sekitar 20 kilometer arah barat laut dari kota Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Situs Liyangan berupa candi ukuran kecil, dan hingga kini di kawasan penambangan pasir di lereng Gunung Sindoro itu masih ditemukan benda-benda bersejarah lain, di kawasan dengan ketinggian sekitar 1.400 di atas permukaan air laut tersebut pertama kali ditemukan sebuah talud, yoni, arca, dan batu-batu candi, diduga bahwa situs tersebut sebuah perdusunan karena di antara benda temuan terdapat sisa-sisa rumah berbahan kayu dan bambu.


Penemuan selanjutnya berupa sebuah bangunan candi yang tinggal bagian kaki dan di atasnya terdapat sebuah yoni yang unik, tidak seperti umumnya, karena yoni ini memiliki tiga lubang, profil klasik Jawa Tengah pada kaki candi menandakan candi ini berasal dari abad sembilan Masehi.
Yang cukup spektakuler adalah temuan terakhir pada akhir Maret 2010 berupa rumah panggung dari kayu yang hangus terbakar dan masih tampak berdiri tegak. Satu unit rumah tersebut berdiri di atas talud dari batu putih setinggi 2,5 meter. Selain itu juga ditemukan satu unit rumah kayu lain yang saat ini baru tampak pada bagian atapnya, menurut perkiraan bangunan rumah tersebut berada dalam satu kompleks dengan candi dan kemungkinan merupakan satu zaman. Balai Arkeologi memperkirakan kedua unit rumah itu merupakan bangunan rumah masa Mataram Kuno.

Untuk mengungkap keberadaan situs tersebut pada 14-20 April 2009 tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian terhadap benda-benda temuan yang terkubur pasir dengan kedalaman sekitar tujuh hingga 10 meter, berdasarkan hasil penelitian tim Balai Arkeologi Yogyakarta kemudian menyimpulkan bahwa situs tersebut merupakan sebuah permukiman pada zaman Mataram Kuno.
Secara umum, potensi data arkeologi situs Liyangan tergolong tinggi berdasarkan indikasi, antara lain luas situs dan  keragaman data berupa bangunan talud, candi, bekas rumah kayu dan bambu, strutur bangunan batu, lampu dari bahan tanah liat, dan tembikar berbagai bentuk.

Selain itu, juga diperoleh informasi berupa struktur bangunan batu, temuan tulang dan gigi hewan, dan padi, berdasar gambaran hasil survei penjajakan tersebut Balai Arkeologi menyimpulkan bahwa Situs Liyangan merupakan situs dengan karakter kompleks. yang mengindikasikan bahwa lokasi  tersebut adalah situs permukiman, situs ritual, dan situs pertanian.
Kompleksitas karakter tersebut membawa pada pemikiran bahwa situs Liyangan adalah bekas perdusunan yang pernah berkembang pada masa Mataram Kuno. Ragam data dan karakter ini tergolong istimewa mengingat temuan ini satu-satunya situs yang mengandung data arkeologi berupa sisa rumah masa Mataram Kuno.
Luasan imajiner situs Liyangan berdasarkan survei diperkirakan tidak kurang dari dua hektare. Di area tersebut tersebar data arkeologi yang menunjukkan sebagai situs perdusunan masa Mataram Kuno. Mengingat sebagian situs terkubur lahar, masih sangat dimungkinkan luasan situs lebih dari hasil survei.

Hasil penelitian tim Balai Arkeologi menyimpulkan bahwa data arkeologi berupa sisa-sisa rumah berbahan kayu dan bambu merupakan situs perdusunan masa Mataram Kuno sekitar 1.000 tahun lalu.
Data tersebut merupakan satu-satunya yang pernah ditemukan di Indonesia sehingga memiliki arti sangat penting bukan hanya bagi pengembangan kebudayaan di Indonesia, tetapi juga dalam skala internasional, oleh sebab itu perlu dilakukan upaya penyelamatan guna penelitian dunia ilmiah.

Sebagai upaya penelitian lebih lanjut terhadap situs di kawasan penambangan pasir tersebut, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah akan melakukan penggalian situs.
Kepala BP3 Jawa Tengah Trihatmaji mengatakan, tim BP3 akan melakukan penggalian situs pada awal bulan Mei 2010 sebagai upaya penyelamatan benda bersejarah tersebut.
Dengan adanya penggalian tersebut maka setelah tanah terpotong maka kelihatan secara konstruksi dan diketahui tanah lapisan budaya, maka akan merekonstruksi pula adanya aktivitas manusia masa lampau serta peristiwa apa saja yang pernah terjadi pada kawasan situs demikian kata Trihatmaji, namun kegiatan  itu harus dilakukan dengan metode yang benar jika tidak maka akan sulit mengungkap misteri yang ada.


Pada mulanya di lokasi penambangan tersebut ditemukan situs yang diduga tempat pemujaan, namun terakhir ditemukan pula bekas bangunan dari kayu dan bambu yang telah menjadi arang dan di bawahnya terdapat talud dari batu putih setinggi 2,5 meter dan terdapat saluran air.
Adanya temuan bangunan saluran air tersebut menandakan bahwa waktu itu sudah ada manajemen air. Melihat konstruksi kayu dengan garapan yang halus dan menggunakan atap dari ijuk menandakan bahwa masyarakat pada masa  itu telah memiliki budaya dan seni arsitektur  yang cukup baik di zamannya.

Pesona gunung kembar SuSi





Jangan ber-imaginasi yang tidak-tidak dulu tentang gunung kembar SuSi, gunung kembar SuSi adalah Sindoro dan Sumbing, dua buah gunung yang bagian lerengnya berada di wilayah Kabupaten Temanggung, berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Magelang dan Purworejo.
Mendaki Sindoro - Sumbing adalah tradisi yang sudah lama dilakukan masyarakat Temanggung, khususnya pada tanggal 1 Syuro dan malam 21 Puasa, namun sekarang banyak dilakukan oleh banyak orang dari luar Temanggung, memang gunung kembar SuSi sangat mempesona dan menantang.



Gunung Sumbing yang berketinggian 3371 m dpl  ini adalah gunung yang tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet. Bentuk gunung Sumbing serupa dengan gunung Sindoro di sebelahnya yang dipisahkan oleh jalan raya penghubung kota Temanggung dan Wonosobo, konon Sumbing dan berasal dari sumber yang sama sebelum akhirnya terjadi erupsi yang hebat.
Gunung Sumbing menjadi batas alam antara Kabupaten Banjarnegara, Temanggung, Magelang, dan Wonosobo.Seperti halnya gunung-gunung di Jawa lainnya, setiap tanggal 1 Syuro (tahun baru Jawa) dan tanggal 20 Poso (bulan Jawa) atau malam 21 Puasa, sudah menjadi tradisi masyarakat setempat untuk melakukan jiarah ke puncak Gn. Sumbing. Di mana terdapat makan Ki Ageng Makukuhan. 
Gunung ini dapat didaki melalui  rute Cepit yakni dari Base Camp Cepit, yang berada di desa Pagergunung, kecamatan Bulu, kabupaten Temanggung.
Kalau naik bus dari arah manapun baik dari Yogya atau Semarang turun di Parakan. Perjalanan di mulai di Base Camp Cepit yang terletak di desa Pager Gunung,  Kecamatan Bulu, wilayah Temanggung, Jawa Tengah. Perjalanan terbaik dilakukan pada malam hari sekitar pukul 21.00, sampai di puncak menjelang pagi, sehingga sempat melihat Sunrise dari puncak gunung. Selain itu perjalanan di malam hari dapat menghemat air minum, karena di sepanjang jalur tidak terdapat mata air.
Pertama kali kita akan berjalan selama kurang lebih satu jam melewati ladang sayur atau tembakau penduduk. Kemudian kita akan mendaki sekitar dua jam memasuki kawasan hutan, selanjutnya kita akan sampai di padang rumput. Setelah itu kita akan bertemu dengan Batu Kasur dan Batu Lawang.

Jalur menuju puncak sangat sempit dan menanjak, sehingga sangat melelahkan, kita perlu sangat berhati-hati dan menjaga stamina tubuh. Puncak Gungung Sumbing berbentuk kaldera kecil yang bergaris tengah 800 meter, dengan kedalaman 50-100 m dan beberapa puncak yang runcing. Untuk menuju puncak tertinggi harus turun lagi ke arah kanan dan kemudian naik lagi.

Terdapat lautan pasir, terdapat juga makam leluhur masyarakat setempat yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Makukuhan. Ada beberapa gua salah satunya dikenal dengan nama Gua Jugil merupakan gua terbesar yang konon ada makamnya Ki Jugil Awar-awar. Di kaldera banyak kawah kecil yang berasap belerang. Pemandangannya sangat indah sehingga kita akan merasa enggan untuk meninggalkan puncak tersebut.






Gunung Sindoro memiliki ketinggian 3.153 m dpl, gunung ini sering menjadi tujuan utama para Pecinta Alam, terutama untuk melakukan ekspedisi Sindoro - Sumbing, medan yang terjal, panasnya sengatan matahari serta tidak adanya sumber air menjadi tantangan utama dalam pendakian.
Seringkali pendaki tidak bisa melanjutkan pendakian karena kehabisan air minum, meskipun tradisi pendakian Sindoro juga sama dengan di gunung Sumbing, yaitu pada tanggal 1 Syuro dan tanggal 20 Poso atau malam 21 bulan Puasa.  Sebaiknya Pendikian Gunung ini di lakukan pada musim penghujan, seperti bulan November, Desember dan Januari

Tempat pendaftaran di basecamp Kledung yang juga menjadi markas Tim SAR bernama GRASINDO, di markas ini menyediakan tempat untuk menginap, kamar mandi, menjual kaos, stiker, gantungan kunci, makanan dan minuman. Pendaki dapat memesan makanan bungkus sebagai bekal di perjalanan, karena memasak dan berkemah di gunung akan memerlukan persediaan air yang banyak.
Pendakian ke gunung Sindoro sebaiknya dilakukan pada malam hari karena untuk menghindarai panas dan debu, serta untuk menghemat air minum. Perjalanan diawali dari basecamp melewati perkampungan penduduk. Selanjutnya menapaki jalan berbatu sejauh sekitar 2 km melintasi ladang penduduk yang didominasi oleh tanaman  tembakau atau jagung, Track awal landai kemudian sedikit menanjak ketika memasuki kawasan hutan pinus menjelang Pos 1 Sibajing, dengan ketinggian 1.900 mdpl.
Dari Pos 1 ini kita berbelok ke kanan , jangan mengambil jalan lurus karena buntu. Kita harus mendaki dan menuruni 2 buah punggungan gunung. Jalur bergeser ke punggungan yang lain melintasi tiga buah jembatan kayu. Pohon lamtoro dan pinus yang cukup lebat di sepanjang jalur cukup membuat suasana menjadi sejuk. Pos II berada pada ketinggian 2.120 mdpl.
Menuju Pos III medan mulai terjal dan berbatu, terdapat sebuah batu yang sangat besar di tengah jalan setapak. Pendaki dapat beristirahat di atas batu sambil menikmati pemandangan alam. Jalan tanah berdebu bercampur kerikil seringkali menyulitkan pendakian. Medan mulai terbuka kembali sehingga di siang hari akan terasa panas. Gunung sumbing sudah mulai kelihatan, sangat tinggi dan besar sehingga bisa menjadi hiburan selama pendakian yang melelahkan.
Pos III Seroto berada pada ketinggian 2.530 mdpl, lokasinya terbuka dan cukup luas untuk mendirikan belasan tenda. Dari sini kita akan menyaksikan pemandangan yang sangat indah ke arah gunung Sumbing. Pemandangan lereng terjal gunung Sindoro serta puncak bayangan yang nampak di depan mata sangat indah untuk dinikmati.
Dari Pos III pendakian dilanjutkan dengan melintasi jalan berbatu yang terjal disertai dengan kerikil dan debu. Meskipun medan sangat berat kawasan ini agak rindang karena banyak ditumbuhi oleh pohon lamtoro dan tanaman perdu. Jalur kembali terbuka melintasi medan yang banyak terdapat batu-batu besar. Setelah mencapai puncak bayangan pertama, pendaki harus menghadapi puncak bayangan berikutnya yang kelihatan sangat tinggi dan curam.
Menuju puncak bayangan ke dua yang terjal dengan medan yang berbatu sungguh sangat melelahkan, terutama bila dilakukan pendakian pada siang hari akan terasa sangat panas dan kita akan sering kehausan. Beruntung medan yang kita lewati ditumbuhi oleh pohon lamtoro dalam jarak yang agak dekat sehingga bisa digunakan untuk berteduh. Lintasan berikutnya melewati medan berbatu dengan tanaman edelweis. Sesampainya di puncak bayangan kedua setelah melewati hutan edelweis, medan kembali terbuka dan harus melintasi batu-batu besar. Puncak gunung yang sesunguhnya masih belum nampak karena tertutup pandangan oleh pohon-pohon edelweis.
Jalur akhir menuju puncak ini medannya sangat berat, selain terjal dan terbuka, panas matahari sangat terasa menyengat, kelelahan dan kehausan menyertai para pendaki. Batu-batu besar menjadi pijakan di sepanjang lintasan. Di siang hari pasir dan batu terasa sangat panas bila disentuh, terutama batu yang berwarna hitam bila dipegang terasa sangat panas sekali. Tidak mengherankan jika di gunung Sindoro ini sering terjadi kebakaran. Menjelang puncak pohon edelweis banyak tumbuh sehingga bisa menjadi tempat berlindung dari teriknya matahari.
 
Puncak gunung Sindoro tidak terlalu luas tetapi melingkar mengelilingi kawah. Banyak terdapat batu-batu besar dan ditumbuhi tanaman edelweis. Dari puncak gunung Sindoro pemandangan ke arah selatan terlihat gunung Sumbing sangat indah sekali. Sedikit ke arah timur nampak gunung Merbabu dan gunung Merapi yang diselimuti awan.
Kawah gunung Sindoro cukup luas, pendaki dapat turun ke dasar kawah. Di musim penghujan kawah ini akan terisi oleh air membentuk danau kawah, sehingga pendaki dapat mandi serta mengambil air bersih dari danau kawah. Di musim kemarau kawah gunung Sindoro masih menyisakan genangan-genangan air yang bercampur dengan belerang sehingga terasa asam bila diminum. 
Pendaki gunung Sumbing - Sindoro  harus benar-benar menghormati kebiasaan penduduk lereng gunung ini, banyak pantangan yang harus diperhatikan diantaranya tidak merusak tanaman, tidak mengganggu kebun penduduk, tidak membuang sampah, berhati-hati jika menyalakan api karena rawan kebakaran, berlaku sopan, tidak sombong, ramah bila berjumpa penduduk, tidak mengeluh, dan tidak buang air di sembarang tempat.
Sebaiknya pendaki tidak meletakkan barang-barang diluar tenda karena gunung Sumbing  - Sindoro masih agak rawan. untuk itu sikap ramah, sopan dan penuh waspada para pendaki sangat diperlukan.

Satu hal yang sangat spektakuler dari puncak kedua gunung tersebut adalah menyaksikan terbitnya matahari dari arah timur di puncak Merapi - Merbabu,  sebuah lukisan alam ciptaan Illahi yang sangat indah.

Penduduk di lereng Sumbing  - Sindoro tersebut memiliki tradisi yang unik, menurut kepercayaan penduduk setempat agar selamat dan terhindar dari mara bahaya, anak-anak dibiarkan berambut Gimbal, pemotongan rambut gimbal ini akan dilakukan setelah anak menginjak baligh dengan upacara dan ritual khusus.
Masyarakat lereng Sumbing - Sindoro sangat menyukai kesenian tradisional seperti Kethoprak, Kuda Lumping atau Jathilan, maka jangan heran kadangkala kalau berkunjung kesana sering menemukan pementasan kesenian ini desa - desa.








Petilasan Nujum Mojopahit





Sebuah petilasan berada di ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut (dpl) dan berada di lereng Gunung Sindoro tempatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo. Jaraknya hanya sekitar 26 km dari barat laut kota Temanggung. berdekatan dengan petilasan tersebut terdapat sebuah mata air yang merupakan hulu Sungai Progo  yang bernama Umbul Jumprit, sejak awal 1980 mulai banyak pengunjung yang ingin berziarah ke petilasan yang konon adalah makam Ki Jumprit atau melakukan ritual mandi kungkum di Umbul Jumprit.

Pada tanggal 18 Januari 1987, Pemerintah Kabupaten Temanggung menentapkan Jumprit sebagai Kawasan Wanawisata. Setahun kemudian, Kawasan itu diresmikan Gubernur Jawa Tengah (saat itu HM Ismail). Jumprit sudah disebutkan dalam Serat Centini, terutama dikaitkan dengan legenda Ki Jumprit yang merupakan ahli nujum di Kerajaan Majapahit sehingga dahulu masyarakat sekitar mengenalnya dengan Ki Jumpahit ( Nujum Mojopahit ) akhirnya lebih populer dengan sebutan Ki Jumprit.
Ki Jumprit dikenal sakti mandraguna ini  ternyata salah seorang putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit.



Alkisah ia meninggalkan kerajaan, agar bisa mengamalkan ilmu dan kesaktiannya kepada masyarakat luas. Perjalanan panjangnya berakhir di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung.  Sebagai ahli nujum, Ki Jumprit pernah meramal suatu saat nanti Temanggung akan menjadi daerah makmur dan sebagian ramalannya tersebut terbukti. Banyak petani di lereng Sumbing dan Sindoro relative hidup berkecukupan melalui tanaman tembakau.

Beberapa tokoh masyarakat meyakini, Ki Jumprit adalah leluhur dari masyarakat Temanggung yang tersebar di lereng Gunung Sindoro dan Sumbing. Namun hal ini masih memerlukan kajian mendalam, terutama dari aspek kesejarahan. Ada beberapa lokasi yang diyakini sebagai petilasan Ki Jumprit begitu juga letak makamnya yang berada tak jauh dari Umbul Jumprit. Dua lokasi inilah yang kerap dikunjungi peziarah, terutama komunitas tertentu yang terbiasa melakukan tirakat.


Jalan menuju lokasi sudah teraspal, sehingga perjalanan cukup menyenangkan. Apalagi dalam perjalanan menuju Jumprit bisa menikmati panorama alam pegunungan yang indah dan agrowisata sayuran. di lokasi tersebut juga dapat menikmati udara segar dengan air yang jernih, dingin, dan menyegarkan dari Umbul Jumprit yang tiap hari Raya Waisak di jadikan tempat ritual pengambilan air suci oleh para Bikhu untuk dibawa ke Borobudur, indahnya pemandangan saat matahari terbit juga dapat kita nikmati di  kawasan lereng Sindoro ini, kalau berkunjung ke sana sekawanan burung di alam bebas akan selalu menyambut dengan ocehan yang saling bersahutan atau juga bertemu sekawanan kera liar (sekitar 25-30 ekor) di lokasi. Konon populasi kera ini tidak pernah bertambah atau berkurang. 



Kisah tentang Batu Jepang




Sebuah prasasti ditulis dengan huruf Kanji dalam bahasa Jepang  berbunyi " Wampo Daiwa Daigetzu " yang artinya Seluruh Dunia Sekeluarga ini mempunyai kisah tersendiri.
Kisah yang tak lepas dari kepahlawanan seorang Bambang Soegeng, beliau adalah seorang prajurit TNI dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal, pernah memimpin pasukannya di Temanggung saat Agresi Militer I ( 1947 ) dan Agresi Militer II ( 1949 ).
Bambang Soegeng adalah bekas Dai Danco Peta, pada September 1945 merintis pembentukan Badan Keamanan Rakyat ( BKR ) di Temanggung dengan kekuatan satu setengah kompi, sedangkan anggota-anggotanya adalah bekas anggota Peta, Heiho dan KNIL.




Dalam setiap pertempuran pasukan Bambang Soegeng adalah prajurit yang gagah berani melawan gempuran penjajah, meskipun dari beberapa pertempuran di alur Sungai Progo Bambang Soegeng telah kehilangan sekitar 3.500 orang putra terbaik bangsa, sebagian dibantai Belanda di atas jembatan Progo, namun tak pernah tak pernah membuat kecil hati seorang Bambang Soegeng untuk mempertahankan kemerdekaan RI.
Sebuah puisi yang ditulisnya berbunyi: ” Aku tak ketjewa....., aku rela......, mati untuk tjita2, sutji nan mulia, indonesia merdeka, adil, makmur, bahagia ”  sampai sekarang masih terukir di Monumen Progo sebagai kenangan atas peristiwa itu.
Sebelum bertempur melawan Belanda, Bambang Soegeng telah menghadapi perlawanan Jepang, sebagai Komandan Resimen BKR dibantu bekas So Dan Cho Soejoto dan Bupati   Temanggung Sutikwo serta Kepolisian dan AMRI Bambang Soegeng berhasil melucuti tentara Jepang dibawah pimpinan Yamakawa, banyak tentara Jepang yang menjadi tawanan Bambang Soegeng.
Ada kesan yang mendalam bagi para tawanan Jepang tersebut, karena mereka mendapat perlakuan sangat baik dari Bambang Soegeng, sehingga para tawanan Jepang mengukir secara mendalam kesan  itu dalam sebuah prasasti Wampo Daiwa Daigetzu " Seloeroeh Doenia Sekeloearga " 1877.
Semula prasasti itu berada di depan ex SMP Bopkri sebelah utara Kodim Temanggung, namun sekarang telah dipindahkan ke Monumen Bambang Soegeng di Gumuk Godeg sebelah timur Terminal Temanggung.



Monumen Bambang Soegeng
Diresmikan oleh Menhankam RI Jend. TNI Poniman tgl 8 Oktober 1985
  

Prasasti Gondosuli


Prasasti Gondosuli


Prasasti Gondosuli berada di tengah hamparan ladang tembakau lereng Gunung Sumbing, tembakau berkualitas tinggi adalah pertanian khas yang menjadi komoditas warga Temanggung, untuk ke lokasi situs candi Gondosuli di Desa Gondosuli Kecamatan Bulu harus menempuh jarak sekitar 12 Km dari pusat kota Temanggung, tepatnya dari lokasi RSK Ngesti Waluyo Parakan berjalan kearah selatan menyusuri jalan di lereng Gunung Sumbing lebih kurang 3 Km, akses ke lokasi sangat mudah karena jalan telah mulus beraspal sambil menikmati panorama alam yang indah, sejauh mata memandang adalah hamparan ladang pertanian seperti permadani hijau, nun jauh disana terlihat kota Parakan terletak di ujung kaki Gunung Sumbing.
Prasasti Gondosuli dipahatkan berupa sepuluh baris huruf Jawa Kuno dalam bahasa Melayu Kuno  diatas bidang berukuran 103 Cm x 54 Cm pada sebuah batu besar panjang 290 Cm lebar 110 Cm tinggi 100 Cm, menempati areal seluas 4.992 M, dilihat dari bentuk tulisannya hampir menyerupai prasasti-prasasti Sriwijaya di daerah Sumatera.
Di bawah prasasti tersebut menurut Prof Dr. J.G. Casparis seorang arkeolog dari Australia masih terpendam, bangunan candi yang besar, sayang hal itu belum bisa digali secara luas dalam arti fisik, karena areal tempat keberadaan prasasti di atas sebuah pemakaman umum yang dikeramatkan oleh warga setempat. 
Prasasti Gondosuli pada dasarnya berisi tentang penghibahan tanah untuk bangunnan suci ( candi ) sebagai penghormatan kepada Sang Hyang Wintang. angka tahun pembuatan terbaca dari candrasengkala yang berbuyi: " Nama Syiwa Om Mahyana Sahin Alas Pertapaan Tahnguda Laki-Wini mendangar wa'zt tahta pawerus dharma " yang artinya: Bhakti kepada Syiwa. Om Mahyana ( Orang Basar ) di semua batas hutan pertapaan, tua-muda laki-laki perempuan mendengar hasil perbuatan yang baik.
Selanjutnya disebutkan pula nama nama seperti Rakai Kayuwangi atau Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Pu Bokapala Sri Sajjanowatunga, dan raja-raja yang memerintah di Jawa bagian Tengah dari  Kerajaan Mataram Kuno ( Medang Kamulan/ Mataram Hindu keturunan Sanjaya ) yang kesemuanya ada 12 yaitu:


1. Rakai Sanjaya
2. Rakai Panakaran ( Pasopanan )
3. Rakai Pananggalan ( Paninggalan )
4. Rakai Warak
5. Rakai Garung ( Rakai Patapan )
6. Rakai Pikatan 
7. Rakai Kayuwangi
8. Rakai Watuhumaing
9. Rakai Balitung
10. Rakai Dhaksa
11. Rakai Tulodong
12. Rakai Wawa


Rakai Wawa adalah raja terakhir dari zaman Mataram Hindu yang merupakan menantu Empu Sendok, kemudian memindahkan kerajaannya ke Jawa bagian Timur dan menjadi raja pertama pada sebuah kerajaan Medang yang berada di lembah sungai Brantas
Peninggalan lain dari Rakai Pikatan yang sekarang masih dapat dinikmati adalah bekas bangunan pemandian raja-raja pada masa itu yang  berada di sebelah selatan kota Temanggung, sekarang akrab di sebut "Pemandian Pikatan", sebuah mata air besar yang sangat dingin dan jernih dari sungai di bawah tanah di kaki Gunung Sumbing, penasaran ingin melihat datang saja ke Temanggung.

Candi Pringapus yang Candi Tersembunyi






 
Di kaki gunung Sindoro, tepatnya di desa Pringapus sekitar 2,50 Km dari kota Ngadirejo Kabupaten Temanggung Jawa Tengah, sebuah candi tersembunyi di tengah perkampungan penduduk di balik kerimbunan rumpun bambu, tidak banyak orang mengenalnya, meskipun candi itu telah ratusan tahun silam berdiri dengan megah disitu, tidak jauh dari lokasi Candi Pringapus juga ada candi lain yaitu Candi Perot sayangnya kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya, padahal keberadaan Candi Perot juga tak kalah pentingnya, karena di candi itu pada tahun 1819 M ditemukan sebuah prasasti yang menyebutkan angka tahun 772 Caka atau 15 Juni 850 M.


Candi Pringapus setelah dipugar


Prasasti yang berada di Candi Perot disebut Prasasti Tulang Air, yang ditulis dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno, prasasti tersebut berisi tentang penetapan Ratu Sima oleh Rakai Panantapan Pu Manuku atas sebuah bangunan suci di desa Tulang Air, Rakai Panantapan Pu Manuku adalah pejabat pemerintah kerajaan Mataram Kuno yang dibawah kekuasaan Rakai Pikatan.
Tulang Air merupakan prasasti tertua yang memuat daftar para pejabat dibawah raja yang berkuasa saat itu yaitu Rakai Pikatan ( Februari 847 - 27 Mei 855 M ), disebutkan pula bahwa Rakai Pikatan juga salah satu raja yang mendirikan Candi Prambanan dimana daerah sekitarnya masuk dalam wilayah kekuasaannya.
Sesuai toponim Pikatan yang sangat dikenal di daerah Temanggung, ada kemungkinan besar masih banyak lagi peninggalan-peninggalan arkeologis pada masa klasik di wilayah Temanggung dan sekitarnya. 
Informasi mengenai Candi Pringapus dikenal dari tulisan seorang peneliti asing Junghuhn pada tahun 1844, maupun tulisan-tulisan lain seperti Hoopermans tahun 1865 dan Veth tahun 1878, adapun deskripsi lebih lengkap terdapat pada tulisan Knebel tahun 1911/ 1912, selanjutnya pada tahun 1930 Candi Pringapus dipugar oleh Dinas Purbakala.
Berdirinya Candi Pringapus dan Candi Perot menunjukkan bahwa dahulu di daerah tersebut terdapat komunitas pemeluk agama Hindu yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kerajaan Mataram Kuno.
 
Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa candi-candi tersebut adalah candi Hindu adalah: adanya Arca Nandi, Yoni, Durgamahisamardhini.
Motiv-motiv khas yang berada pada Candi Pringapus terdapat pada dinding kanan dan kiri yang berupa sulur-suluran dikombinasikan dengan gambar manusia kerdil dan Kinnara - Kinnari pemain musik yang berujud mahluk khayangan bertubuh burung berwajah manusia, sedangkan di bagian depan di kanan dan kiri pintu terdapat juga motiv sulur-suluran dan  sepasang lelaki dan perempuan sedang bermesraan serta seorang lelaki duduk sendirian membawa seikat bunga, adapun di ambang atas pintu terdapat Kala yang memiliki cakar dan rahang bawah yang berbeda dengan candi-candi di Prambanan dan sekitarnya, namun terdapat pada candi-candi di Dieng dan Jawa Timur


 .
Sampai dengan saat ini Candi Pringapus masih berdiri dengan megah dan tidak berkurang keindahanya, tidak jauh dari candi itu kalau kita berjalan naik menyusuri lereng Sindoro kira-kira 1,00 - 2,00 Km  di bawah hutan wisata Jumprit kita akan menjumpai peninggalan arkeologis lain seperti Situs Liyangan yang baru saja diketemukan tahun 2008 di Desa Purbasari maupun petilasan Nujum Majapahit di dekat mata air Sungai Progo yang sering di jadikan tempat ritual pengambilan air suci setiap hari raya Waisak, ayo kunjungi saja dari pada penasaran.


 







Legenda Bambu Runcing dari Parakan


 Para pejuang memasuki kota Parakan  1945




Parakan 27 September 1945, para pemuda yang tergabung dalam Badan Keamanan Rakyat ( BKR ) mendapat informasi bahwa tentara Dai Nippon dari Magelang akan menyerbu dan membumihanguskan kota Parakan, untuk membalas dendam atas kematian 3 orang tentara Jepang yang tewas disergap BKR-AMRI di Parakan, beruntung pada saat yang mencekam itu Pasukan Inggris datang ke Indoinesia untuk melucuti persenjataan Tentara Jepang.
Namun keberuntungan itu tak berlangsung lama, karena para pejuang harus menghadapi musuh baru yaitu tentara Inggris yang membawa pasukan khusus Gukha dan tentara dari NICA ( Belanda yang membonceng Inggris )
Situasi memburuk, pertempuran pecah dimana-mana dengan persenjataan yang tidak seimbang, BKR dan AMRI yang hanya membawa senjata rampasan Jepang, tombak, parang, panah dan granat gombyok buatan Muntilan harus menghadapi persenjataan modern dari Gurkha dan NICA, tidak sedikit korban berjatuhan.
Seorang Kyai kharismatik di Parakan yaitu Kyai R. Sumomihardho prihatin melihat hal itu, lewat Abdurrahman bin Subchi beliau memanggil para pemuda diantaranya Abu Jazid, Anwari, Chawari, Ismail, Ichsan, Abu Dzar, Istachori, Djamil, Nur Salim, Nurdin, Supri, Suharto, Subari, Mat Bandoi, Sunaryo dan Suroyo untuk mencari bambu wulungakhirnya para pemuda itu mendapat bambu wulung dari Pawiroredjo penduduk kampung Jetis, dengan petunjuk Kyai bambu tersebut dipotong-potong tepat saat bedug dzuhur berbunyi.
Hari Selasa Kliwon di bulan Oktober 1945 bambu wulung tersebut disepuh oleh Kyai Sumomihardho untuk dijadikan senjata, berita dengan cepat menyebar ke segala penjuru, sedikitnya ada 40 pemuda dari Parakan Kauman datang berbondong-bondong menyepuh bambu runcing, dan menerima gemblengan-gemblengan bathin.

 Masyarakat mengelu-elukan para pejuang yang datang ke kota Parakan ( 1945 )


Sejak saat itu setiap hari Selasa Kliwon para pejuang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur datang ke kota Parakan, kehebatan Bambu Runcing telah mengundang mereka, sehingga kota Parakan menjadi kota yang padat dengan para pejuang, setiap hari ribuan pemuda datang, kereta api jurusan Parakan - Temanggung - Magelang - Yogyakarta menjadi padat oleh para pemuda, karena perjalanan darat lewat jalan raya tidak mungkin di tempuh, sepanjang jalan menuju Parakan telah dilobangi, jembatan-jembatan telah diputus oleh pejuang untuk menghambat mobilisasi musuh, tidak sedikit dari para pendatang yang sampai menginap di stasiun kereta api, menumpang di rumah penduduk atau di tempat penyepuhan.  
Melihat banyaknya pejuang yang datang, Kyai R Sumomihardho memindahkan tempat penyepuhan ke lokasi yang lebih luas dan membagi tugas kepada ulama' lain, KH Abdurrahman di beri tugas memberi asma' nasi di beri gula pasir untuk kekebalan, Kyai Ali menerima tugas memberi asma' banyu wani untuk sugesti keberanian dan menghilangkan rasa capai, Kyai Subchi bertugas memberi do'a, dan Kyai R Sumodihadho sendiri menyepuh bambu runcing serta memberikan petuah-petuah dan do'a. 
Tanggal  27 Nopember 1945 terjadi pertemuan di Pendopo Kawedanan Parakan antara Bupati Temanggung Sutikwo dengan para ulama' dan tokoh masyarakat, untuk membahas pendudukan Tentara Sekutu di Magelang, jarak antara Temanggung dan Magelang sangatlah dekat, hal itulah yang membuat pimpinan pemerintahan di Temanggung itu khawatir, maka diadakanlah pertemuan itu di Parakan, dengan alasan kota Parakan  masih dikuasai BKR dan para pejuang lain, pertimbangan lain untuk mencapai Parakan Tentara Sekutu harus melewati rintangan di 3 Jembatan yaitu di Kali  Progo, Kali Kuas dan Kali Galeh.
Diantara yang hadir dalam pertemuan itu selain Bupati Sutikwo antara lain para ulama' Kyai R Sumomihardho, KH Subchi, KH Nawawi, KH Abdurrahman, KH Abu Amar, K. Ridwan, K. Ali, K.Sya'ban, K. Salim, K. Sahid Baidhowi serta para umaro' Wedono Parakan Sastrodiprodjo, Camat Parakan Mangunredjo, H. Sukirman ( Masyumi ), KH. Siradj dari Payaman Magelang ( MIAI ).     
Dari pertemuan-pertemuan selanjutnya menghasilkan 4 keputusan:
  1. Gerakan Bambu Runcing di beri nama Barisan Bambu Runcing atau Barisan Muslimin Indonesia (BMT)
  2. Untuk menjalankan aktivitasnya BMT bermarkas ( sekarang di Jl Kosasih ) di sebuah rumah milik seorang warga keturunan Tiong Hwa
  3. Dengan semakin banyaknya pejuang yang datang ke Parakan, penyepuhan bambu runcing dilakukan di markas BMT
  4. Membentuk kepengurusan BMT dengan susunan sebagai berikut:
    • Pelindung   : Sutikwo, Sastrodiprodjo dan Mangunredjo
    • Penasehat  : KH. Subchi, KH Abu Amar, KR Sumomihardho, KH Abdurrahman, KH Nahrowi dan K. Zaenal Abidin CH
    • Ketua        : KH Nawawi, K. Ali dan K. UH Sya'ban
    • Sekretaris  : Sukarman Abdurrahman dan Badrudin
    • Bendahara : H. Ridwan, Mad Suwardi dan H. Afandi
    • Pembantu  : Syahid Baidhowi, K. Kasful Anwar, K Sjuti Thohir dan Adham
    • Seksi Perlengkapan : Sumarno, Wirjoari, Dullah Gembel dan Muh Dajat
    • Seksi Keamanan     : Nur Afandi, H. Mukri dan Djumali
    • Seksi Penerangan    : Syahid Baidhowi dan Sajuti Thohir
    • Seksi Organisasi      : Badrudin
Beberapa hari setelah terbetuknya BMT, datanglah para pejuang dari Banyumas menyepuh bambu runcing dan memohon do'a para kyai untuk melakukan penyerbuan ke Ambahrawa, melihat semangat para pejuang Banyumas itu maka tergerak para pejuang Parakan yang tergabung dalam Laskar Hibullah untuk bergabung dalam penyerbuan ke Ambahrawa.
Do'a dan derai air mata membasahi segenap warga kota Parakan melepas kepergian para pemuda gagah berani itu ke medan laga di Ambahrawa berbekal senjata seadanya dan bambu runcing, kabar selanjutnya yang terdengar adalah beberapa dari putra terbaik bangsa itu gugur, tetesan darah dan hujan air mata semakin membasahi bumi pertiwi, demi kemerdekaan yang kita nikmati saat ini, masihkah kita ingin menghianati perjuangan mereka dengan mencabik-cabik NKRI, hanya bangsa yang besar yang bisa menghargai jasa para pahlawannya.

Monument Bambu Runcing di kota Temanggung

Situs Watu Ambal di Lereng Sumbing




Kalau anda sedang dalam perjalanan dari Parakan ( Temanggung ) menuju Wonosobo, tepat di desa Tlahap sebelum tikungan jembatan Si Gandul, cobalah anda singgah di dusun Tlahap tersebut, lalu bertanya kepada penduduk setempat tentang lokasi " Watu Ambal " ( istilah Situs Batu Ambal oleh warga setempat ), mampirlah barang sejenak melihat keunikan peninggalan purbakala itu. Boleh juga anda menuruni tangga batu yang bernama Watu Ambal itu sambil menghitungnya, lalu naik lagi menghitung ulang, pasti anda akan heran karena akan memperoleh hitungan yang berbeda, nggak percaya ........silakan buktikan.
Berikut ini saya coba sajikan sedikit informasi tentang Situs Batu Ambal yang terdapat di lereng Gunung Sumbing tersebut.


Batu ambal yang merupakan sebuah situs peninggalan kehidupan masa lalu itu, sebenarnya telah diketahui warga setempat sejak puluhan tahun lalu. Bersama dengan batu lingga yoni dan batu pipih mirip prasasti dengan angka  tahun 1794, situs batu ambal berada di lingkungan lahan pertanian warga Dusun/Desa Tlahab, sehingga dengan mudah dilihat oleh warga yang tengah mengolah ladangnya.

Asro Utomo (54) petani desa setempat mengatakan, batu ambal beserta lingga yoni dan prasasti tersebut sudah dikenalnya sejak dirinya berumur sekitar 10 tahun, atau kurang lebih 44 tahun lalu.

Konon menurut cerita masyarakat setempat, di zaman dahulu ada salah seorang wali yang akan membangun masjid  di lokasi setempat. Wali tersebut telah berhasil membangun tangga batu menuju ke lahan tempat pendirian masjid yang lokasinya memang agak berbukit itu. Tangga dimaksud tak lain adalah bangunan yang sekarang disebut sebagai batu ambal itu.
Lalu dimana masjid yang dibangun wali itu? Ternyata wali bersangkutan gagal membangunannya, lantaran ketika akan menyelesaikan pembangunannya telah terdengar adanya suara lesung  orang menumbuk jagung serta kokok ayam, yang menandakan waktu pagi hari telah tiba.
"Sebetulnya, saat itu belum pagi, namun karena ada suara lesung dari awan yang menumbuk jagung, maka ayam pun berkokok dan dikira pagi hari sudah tiba, dan waktu untuk  membangun masjid itu pun habis,"tuturnya.
Menurutnya, konon proses  pembangunan masjid  oleh seorang wali memang tidak boleh diketahui masyarakat, sehingga harus dilakukan pada malam hari. Ketika tiba pagi hari, masjid tersebut mestinya sudah berdiri, dan pembangunannya sudah selesai.
"Karena, tahunya pagi sudah menjelang, maka pembangunan itu pun dibatalkan, dan yang baru terselesaikan hanya batu ambal tersebut,"ungkapnya.

Sementara itu, kendati batu ambal yang menyerupai tangga naik ke candi dengan panjang sekitar 25 meter tersebut dipercaya  sebagai situs, namun belum pernah ada penelitian ilmiah terkait konteks sejarah adanya bangunan tersebut. Demikian pula, kaitannya dengan keberadaan batu lingga yoni dan prasasti itu, belum ada penjelasan ilmiahnya.
Camat Kledung Djoko Prasetyono mengungkapkan, benda-benda batuan tersebut memang potensial untuk diteliti guna diketahui latar belakang sejarahnya. Selain itu, juga potensial sebagai objek wisata sejarah, yang dapat dikunjungi wisatawan serangkai dengan objek-objek wisata lain di kecamatan setempat.
"Kami saat ini baru bisa berupaya menjaganya agar situs ini tidak rusak,"ujarnya.

Bangunan tangga dari batu yang disusun berundag-undag seperti tangga  naik ke candi, atau sering diistilahkan masyarakat situs batu ambal, di lahan pertanian milik warga di Desa Tlahab, Kecamatan Kledung, ternyata memiliki keanehan tersendiri. 

Jumlah anak tangga atau ambal sepanjang 25 meter itu sering tidak sama jika dihitung  dari atas dengan dari bawah. Sejumlah warga atau pengunjung yang mencoba menghitung anak tangga bangunan tersebut dari atas, dan kemudian diulang lagi dari bawah, umumnya menemukan selisih dalam jumlah akhirnya.

Kades Tlahab Paryanto mengatakan, jika penghitungan anak tangga dilakukan dari bagian atas, maka jumlah yang didapatkan sebanyak 84 buah. Namun ketika dari bawah  maka jumlahnya bertambah satu, yakni sebanyak 85 buah.

Perbedaan jumlah penghitungan dari bawah dan atas tersebut, dipercaya bukan sekadar masalah teknis kurang cermatnya penghitungan lantaran banyaknya anak tangga tersebut, namun ada kaitannya dengan mistis, yakni sebagai pertanda permintaan seseorang yang berdoa  di tempat tersebut akan terpenuhi atau tidak.

Orang yang permintaan atau harapannya akan terwujud, biasanya jika menghitung anak tangga  tersebut akan mendapati jumlah yang sama antara penghitungan mulai dari bawah dan atas. Sedangkan, yang menemukan selisih jumlah hitungan anak tangga itu, pertanda harapannya  tidak akan terwujud,"ungkap Hadi Purwanto Kadus Tlahap.

Selain batu ambal, di lokasi setempat juga terdapat sebuah batu semacam prasasti dengan berangka tahun 1794, kemudian sebuah batu yoni dan lingga yang sudah berpasangan menjadi satu, serta dua batu mirip yoni.

Lokasi setempat dipercaya sebagian orang merupakan tempat keramat, sehingga tak mengherankan apabila kemudian sering dijadikan tempat berdoa guna meminta sesuatu.
Saat ini masih banyak yang berdoa ditempat tersebut agar keinginanya dikabulkan. Misalnya, agar mendapatkan pekerjaan, untuk dimudahkan dalam mencari jodoh, supaya naik pangkat atau jabatan dan sebagainya.

Mereka biasanya melakukan ritual tersebut pada tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, yakni dengan berdoa sembari menyebar bunga atau membakar kemenyan.
Lokasi batu ambal dan lingga yoni tersebut sebetulnya memang berada di lingkungan lahan pertanian dengan tanaman tembakau dan sayuran.

Namun, khusus untuk lokasi  watu ambal dan lingga yoni tersebut tidak diolah dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian oleh pemiliknya.