Jumat, 23 Maret 2012

Situs Watu Ambal di Lereng Sumbing




Kalau anda sedang dalam perjalanan dari Parakan ( Temanggung ) menuju Wonosobo, tepat di desa Tlahap sebelum tikungan jembatan Si Gandul, cobalah anda singgah di dusun Tlahap tersebut, lalu bertanya kepada penduduk setempat tentang lokasi " Watu Ambal " ( istilah Situs Batu Ambal oleh warga setempat ), mampirlah barang sejenak melihat keunikan peninggalan purbakala itu. Boleh juga anda menuruni tangga batu yang bernama Watu Ambal itu sambil menghitungnya, lalu naik lagi menghitung ulang, pasti anda akan heran karena akan memperoleh hitungan yang berbeda, nggak percaya ........silakan buktikan.
Berikut ini saya coba sajikan sedikit informasi tentang Situs Batu Ambal yang terdapat di lereng Gunung Sumbing tersebut.


Batu ambal yang merupakan sebuah situs peninggalan kehidupan masa lalu itu, sebenarnya telah diketahui warga setempat sejak puluhan tahun lalu. Bersama dengan batu lingga yoni dan batu pipih mirip prasasti dengan angka  tahun 1794, situs batu ambal berada di lingkungan lahan pertanian warga Dusun/Desa Tlahab, sehingga dengan mudah dilihat oleh warga yang tengah mengolah ladangnya.

Asro Utomo (54) petani desa setempat mengatakan, batu ambal beserta lingga yoni dan prasasti tersebut sudah dikenalnya sejak dirinya berumur sekitar 10 tahun, atau kurang lebih 44 tahun lalu.

Konon menurut cerita masyarakat setempat, di zaman dahulu ada salah seorang wali yang akan membangun masjid  di lokasi setempat. Wali tersebut telah berhasil membangun tangga batu menuju ke lahan tempat pendirian masjid yang lokasinya memang agak berbukit itu. Tangga dimaksud tak lain adalah bangunan yang sekarang disebut sebagai batu ambal itu.
Lalu dimana masjid yang dibangun wali itu? Ternyata wali bersangkutan gagal membangunannya, lantaran ketika akan menyelesaikan pembangunannya telah terdengar adanya suara lesung  orang menumbuk jagung serta kokok ayam, yang menandakan waktu pagi hari telah tiba.
"Sebetulnya, saat itu belum pagi, namun karena ada suara lesung dari awan yang menumbuk jagung, maka ayam pun berkokok dan dikira pagi hari sudah tiba, dan waktu untuk  membangun masjid itu pun habis,"tuturnya.
Menurutnya, konon proses  pembangunan masjid  oleh seorang wali memang tidak boleh diketahui masyarakat, sehingga harus dilakukan pada malam hari. Ketika tiba pagi hari, masjid tersebut mestinya sudah berdiri, dan pembangunannya sudah selesai.
"Karena, tahunya pagi sudah menjelang, maka pembangunan itu pun dibatalkan, dan yang baru terselesaikan hanya batu ambal tersebut,"ungkapnya.

Sementara itu, kendati batu ambal yang menyerupai tangga naik ke candi dengan panjang sekitar 25 meter tersebut dipercaya  sebagai situs, namun belum pernah ada penelitian ilmiah terkait konteks sejarah adanya bangunan tersebut. Demikian pula, kaitannya dengan keberadaan batu lingga yoni dan prasasti itu, belum ada penjelasan ilmiahnya.
Camat Kledung Djoko Prasetyono mengungkapkan, benda-benda batuan tersebut memang potensial untuk diteliti guna diketahui latar belakang sejarahnya. Selain itu, juga potensial sebagai objek wisata sejarah, yang dapat dikunjungi wisatawan serangkai dengan objek-objek wisata lain di kecamatan setempat.
"Kami saat ini baru bisa berupaya menjaganya agar situs ini tidak rusak,"ujarnya.

Bangunan tangga dari batu yang disusun berundag-undag seperti tangga  naik ke candi, atau sering diistilahkan masyarakat situs batu ambal, di lahan pertanian milik warga di Desa Tlahab, Kecamatan Kledung, ternyata memiliki keanehan tersendiri. 

Jumlah anak tangga atau ambal sepanjang 25 meter itu sering tidak sama jika dihitung  dari atas dengan dari bawah. Sejumlah warga atau pengunjung yang mencoba menghitung anak tangga bangunan tersebut dari atas, dan kemudian diulang lagi dari bawah, umumnya menemukan selisih dalam jumlah akhirnya.

Kades Tlahab Paryanto mengatakan, jika penghitungan anak tangga dilakukan dari bagian atas, maka jumlah yang didapatkan sebanyak 84 buah. Namun ketika dari bawah  maka jumlahnya bertambah satu, yakni sebanyak 85 buah.

Perbedaan jumlah penghitungan dari bawah dan atas tersebut, dipercaya bukan sekadar masalah teknis kurang cermatnya penghitungan lantaran banyaknya anak tangga tersebut, namun ada kaitannya dengan mistis, yakni sebagai pertanda permintaan seseorang yang berdoa  di tempat tersebut akan terpenuhi atau tidak.

Orang yang permintaan atau harapannya akan terwujud, biasanya jika menghitung anak tangga  tersebut akan mendapati jumlah yang sama antara penghitungan mulai dari bawah dan atas. Sedangkan, yang menemukan selisih jumlah hitungan anak tangga itu, pertanda harapannya  tidak akan terwujud,"ungkap Hadi Purwanto Kadus Tlahap.

Selain batu ambal, di lokasi setempat juga terdapat sebuah batu semacam prasasti dengan berangka tahun 1794, kemudian sebuah batu yoni dan lingga yang sudah berpasangan menjadi satu, serta dua batu mirip yoni.

Lokasi setempat dipercaya sebagian orang merupakan tempat keramat, sehingga tak mengherankan apabila kemudian sering dijadikan tempat berdoa guna meminta sesuatu.
Saat ini masih banyak yang berdoa ditempat tersebut agar keinginanya dikabulkan. Misalnya, agar mendapatkan pekerjaan, untuk dimudahkan dalam mencari jodoh, supaya naik pangkat atau jabatan dan sebagainya.

Mereka biasanya melakukan ritual tersebut pada tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, yakni dengan berdoa sembari menyebar bunga atau membakar kemenyan.
Lokasi batu ambal dan lingga yoni tersebut sebetulnya memang berada di lingkungan lahan pertanian dengan tanaman tembakau dan sayuran.

Namun, khusus untuk lokasi  watu ambal dan lingga yoni tersebut tidak diolah dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian oleh pemiliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar