Jumat, 30 Desember 2011

Lawoe tempo doeloe

Gunung Lawu memiliki tiga Kawah, yakni dua kawah tua di sebelah utara yang biasa di sebut  Telaga Kuning dan Telaga Lembung Selayur, dan kawah muda yang masih aktif di sebelah selatan yang di sebut Kawah Condrodimuko. Letusan terakhir gunung Lawu yang sempat tercatat terjadi pada tahun 1885, terjadi gemuruh dan hujan abu ringan. Kawah Condrodimuko berada di sebelah selatan gunung Lawu membentuk aliran sungai yang memisahkan antara propinsi jawa tengah dan propinsi jawa timur. Kawah ini menyebarkan bau belerang yang cukup menyengat terutama di pagi hari. Pada bulan desember tahun 1978 terjadi gempa di gunung Lawu, dan pada bulan mei tahun 1979 pergerakan magma di dalam perut gunung Lawu, mengakibatkan gempa yang tercatat hingga 1000 kali dalam satu hari, dan yang dapat dirasakan getarannya 50 kali dalam 1 hari. Namun tidak terjadi perubahan alam maupun letusan gunung.

Awal tahun 80-an saya mulai mendaki gunung Lawu, kala itu hutan di sepanjang jalur pendakian masih lumayan lebat. Harimau Jawa pun konon masih hidup di lereng gunung Lawu. Awal tahun Tahun 2000 ketika saya sedang turun gunung Lawu masih sempat mendengar suara harimau yang menggema. Menurut cerita penduduk yang hidup di sekitar gunung Lawu, harimau Jawa terakhir ditembak di gunung Lawu tahun 2004.
Tugu di puncak gunung Lawu kini sudah sering dibangun, diganti dengan yang baru, salah satu penyebabnya adalah roboh karena gempa. Saya berkali-kali naik gunung Lawu sudah beberapa kali melihat tugu puncak Lawu berubah. Seingat saya waktu naik ke puncak Lawu awal tahun 80-an bentuk tugunya masih sama seperti tugu foto jaman Belanda tahun 1930. Ketika itu Argodalem juga belum dibangun masih, berupa gubuk dari seng seperti foto jaman Belanda di bawah ini. Berikut foto-foto gunung Lawu pada jaman Belanda tahun 1910,  dari koleksi TropenMuseum Belanda.

Pesona Gunung Lawu sejak jaman Belanda sudah sering dinikmati bule-bule, dengan banyaknya vila-vila di Telaga Sarangan dan Tawangmangu. Gunung Lawu dilihat dari telaga Sarangan, yang terletak di sebelah timur gunung Lawu, kelihatan sangat menawan.

Kawah Condrodimuko, kawah Gunung Lawu pada tahun 1930. Sebelum tahun 60-an untuk mendaki gunung Lawu jalurnya melewati kawah Condrodimuko ini. Namun karena jalur ini longsor maka jalur pendakian telah berubah menjadi seperti sekarang ini. Kawah ini di pagi hari baunya sangat menyengat, letak kawah ini di dekat Pos 3 jalur Cemoro Sewu. Bila mendaki gunung Lawu lewat Cemoro Sewu mulai dari Pos 2 hingga Pos 3 kita akan mencium bau belerang.

Inilah pondok Argodalem pada tahun 1930. Kalau diperhatikan coretan pada dinding pondok bertuliskan “Toko LIEM Sarangan” menunjukan bahwa pada waktu itu sudah menjadi tradisi masyarakat sekitar Lawu untuk mendaki gunung Lawu terutama pada bulan Suro.

Vegetasi di puncak Lawu pada tahun 1912 masih nampak sangat lebat. Edelweis tumbuh diantara pepohonan yang lain.

Kawah tua – Telaga Kuning di puncak gunung Lawu tahun 1910 – pada musim hujan kawah telaga kuning ini berisi air, sehingga membentuk telaga. Dahulu para pejiarah melakukan ritual dengan mancelupkan badan ke dalam telaga, bila seluruh tubuhnya berhasil masuk ke dalam telaga maka, keinginannya akan terkabul. Memang agak susah berhubung air telaga tidak terlalu dalam, bahkan sering kali kering.


Inilah puncak Lawu pada tahun 1930. Para bule-bule eropa ini berfoto bersama di puncak Lawu pada tahun 1930.
Memang sejak ratusan tahun yang lalu gunung Lawu sudah sering di daki oleh para pejiarah-pejiarah hindu. Di kaki gunung Lawu pun banyak terdapat candi-candi Hindu peninggalan jaman majapahit.

Foto puncak gunung Lawu tahun 2003.

Foto tugu di puncak Lawu tahun 2009, tugu ini di bangun karena tugu yang sebelumnya roboh ketika terjadi gempa Jogja-Klaten tahun 2006.

Tugu di puncak gunung Lawu tahun 2010.

Merbabu.Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar